Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Minggu, 15 Agustus 2010

UNSUR THORIQOH I (MURSYID)

Mursyid

Kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan ism fa’il (Ingg. Present participle) kata kerja arsyada – yursyidu yang berarti “membimbing, menunjuki (jalan yang lurus)”, terambil dari kata rasyad ‘hal memperoleh petunjuk/kebenaran’ atau rusyd dan rasyada ‘hal mengikuti jalan yang benar/lurus’ [Lisan al-Arab, juz III: 175-176].

Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tasawuf/tarekat mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.

Dalam al-Quran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyipati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

‘Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapati memiliki wali mursyid (pemimpin yang mampu memberi petunjuk).” (Al-Kahfi :17)

Kata wali (jamak: awliya) sendiri menunjukan kepada beberapa makna, antara lain al-nashir ‘penolong’ [Lisan al-Arab, XV: 406], al-mawla fi al-din ‘pemimpin spiritual’[Lisan al-Arab juz XV: 408], al-shadiq ‘teman karib’ dan al-tabi al-muhibb ‘pengikut yang mencintai’ [Lisan al-Arab, juz XV:411] Semua makna ini berserikat dan secara simultan menjelaskan makna wali dalam ayat diatas, yaitu “orang yang mencintai dan dicintai Allah sehingga layak menjadi pemimipin spritual yang harus diikuti”.

Pengertian wali semacam ini digambarkan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan beberapa imam hadis lainnya dengan redaksi:

“Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai berupa ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, kecuali Aku pasti dengannya ia mendengar, (Akulah) matanya yang dengannya ia melihat, (Akulah) tangannya yang dengannya ia melakukan sesuatu, dan (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya; dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya [Shahih al-Bukhari, V: 2384; Shahih Ibn Hibban, II: 58; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, juz III: 346].

Menurut berbagai riwayat yang sahih, wali-wali Allah adalah hamba-hamba Allah yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah” sebagaimana halnya Nabi saw yang oleh ‘Aisyah dengan “selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap detik yang beliau milik” (kana yadzkurullaha fi kulli ahyanihi) [Musnad Abi Ya’la, juz VIII: 355]. Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullah; apabila mereka dilihat orang maka (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allah” [Al-Mu’jam al-Kabir, juz X:205].

Maksud “kunci-kunci dzikrullah” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allah sesuai dengan hadis dalam riwayat Ibn Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah saw ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allah itu? Beliau menjawab:

“Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu berdzikir kepada Allah karena melihat mereka” [ Mushaannaf Ibn Abi Syaibah, juz VII: 79; Musnad al-Bazza,juz VII: 158].

Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan:

"Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya, “Tuhan, siapakah wali-wali-Mu?” Tuhan menjawab:“Orang-orang yang apabila mereka berdzikir engkau pun berdzikir dan apabila engkau berdzikir mereka pun berdzikir” Nawadir al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, juz IV: 86].

Imam al-Suyuthi mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kaum Hawariyyun bertanya kepada Nabi Isa as, “Siapa wali-wali Allah yang tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih?” Nabi Isa menjawab:“Orang-orang yang memandang hakikat dunia sementara manusia memandang permukaannya, dan orang-orang yang memandang dunia yang abadi (akhirat) sementara manusia memandang dunia yang fana” [Tafsir al-Durr al-Mantsur, juz IV: 370].

Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada’ tetapi pada hari kiamat para Nabi dan syuhada’ menginginkan seperti mereka karena kedudukan mereka disisi Allah ‘azza wa jalla.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan apa amal-amal mereka? Boleh jadi kami akan mencintai mereka.” Rasulullah bersabda , “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allah tidak atas dasar hubungan darah antara mereka dan tidak pula atas dasar harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka adalah nur (Allah) dan mereka berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari nur; mereka tidak takut ketika orang lain takut”. Kemudian Rasulullah membacakan ayat “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih (Q.S. Yunus,:62).” Hadis tersebut dikutip oleh Imam al-Jauzi dari jalur ‘Umar Ibn al-Khaththab r.a. dalam Zad al-Masir-nya, [Zad al-Masir, juz IV: 43-44], dan dikutip juga oleh Imam Ibn Hibban dalam Shahih-nya [Shahih Ibn Hibbam juz II: 332], dan oleh Imam al-Bayhaqi dalam al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab [al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz I:134], dari jalur Abu Hurairah.

Mursyid sebagai Pemandu Jalan

Mursyid dalam thariqah adalah seorang wali yang layak diikuti sebagai imam dalam perjalanan menuju Tuhan. Ia adalah wali Allah yang ciri khasnya sebagaimana disebutkan di atas. Jalan menuju Tuhan bukan jalan yang mulus melainkan jalan yang berliku-liku dan penuh dengan rintangan-rintangan berupa ranjau-ranjau Iblis sehingga diperlukan pemandu yang arif untuk bisa selamat dari semua rintangan itu. Seorang salik, orang yang menempuh perjalanan (menuju Tuhan) atau yang biasa disebut dengan murid, yang telah membulatkan kehendaknya untuk menempuh perjalanan (menuju Tuhan) tidak boleh tidak harus didampingi mursyid sebagai pemandu jalan yang menuntun dan sekaligus memperingatkannya apabila ada bahaya yang mengancam. Keberadaan seorang mursyid dengan fungsi ini sangat mutlak.

Barang siapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari, kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi yang dikutip oleh Annemarie Schimmel [Dimensi Mistik dalam Islam, hal. 106], untuk menggambarkan betapa sulitnya perjalanan itu dan betapa pentingnya keberadaan seorang pemandu (mursyid).

Posisi mursyid atau syaikh sufi menurut Ibn Taimiyah tidak ubahnya seperti imam dalam shalat dan pemandu haji (dalil-al-hajj); imam shalat diikuti oleh makmum, mereka shalat sesuai dengan shalatnya imam (yushalluna bi shalatihi), sedangkan pemandu haji menunjukan kepada jamaah jalan menuju baitullah (yadullu al-wafd ala thariq al-bait)[ Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, VIII: 49].

Dalam peristiwa Isra dan Miraj (perjalanan Nabi menuju Tuhan), Nabi saw dipandu oleh Jibril as yang berfungsi sebagai mursyid, imam atau guide, yaitu pemandu jalan yang menuntun dan membimbing beliau hingga sampai di hadirat Allah ‘azza wa jalla.

Dalam Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa dalam Miraj itu, Nabi saw bertemu dengan seorang tua renta di sisi jalan, dan ketika beliau bertanya siapa orang itu, Jibril as. berkata, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beliau juga mendengar sebuah suara yang menyeru beliau agar menyingkir dari jalan, “Halumma ya muhammad, ke sinilah Muhammad!, sebelum Nabi saw sempat menoleh Jibril sudah langsung memperingatkan, Teruslah berjalan, wahai muhammad (sir ya muhammad)!

Beberapa saat kemudian Jibril memberikan penjelasan. Orang tua yang engkau lihat di sisi jalan tadi menunjukan bahwa tidak tersisa dari dunia ini kecuali sekadar sisi umur orang tua itu, sedangkan suara yang hendak memalingkanmu adalah Iblis [Tafsir al-Thabari, juz XV: 6; Tafsir Ibn Katsir, juz III: 6 Al-Ahadits al-Mukhtarah, juz VI: 258].

Peristiwa Isra dan Miraj Nabi saw memang menjadi rujukan utama para sufi, terutama yang berkenaan dengan unsur Jibril as. yang berfungsi sebagai mursyid, sang pemandu.

Keberadaan unsur Jibril as sangat mutlak sedemikian rupa sehingga andaikata unsur ini tidak ada, maka Nabi saw akan terperangkap oleh jebakan Iblis. Lalu bagaimana dengan umat beliau? Apakah mereka juga memerlukan unsur Jibril ini? Jawabannya pasti: ya, tidak boleh tidak. Posisi dan fungsi unsur Jibril ini justru diduduki dan dilaksanakan oleh Nabi sendiri.

Urgensi unsur Jibril sangat jelas terutama mengingat pernyataan Nabi saw bahwa shalat adalah miraj-nya orang mukmin [Syarh Sunan Ibn Majah, hal. 313]. Artinya, orang-orang mukmin juga dimungkinkan mengalami miraj dengan izin dan kehendak Tuhan. Sebagai sarana miraj, dalam shalat seorang mukmin harus melibatkan unsur Jibril; kalau tidak, maka shalatnya akan didominasi oleh unsur setan, sehingga shalat itu menjadi shalat yang tanpa makna, gersang, dan jauh dari nilai-nilai khusyuk, yang pada gilirannya tidak dapat berfungsi sebagai tanha an al-fahsya wa al-munkar mencegah dari perbuatan keji dan mungkar [al-Ankabut :45].

Shalat semacam ini kata Nabi saw dalam riwayat al-Thabrani dengan perawi-perawi sahih [Majma al-Zawaid, juz II: 258], adalah shalat yang hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT (man lam tanhahu shalatuhu an al-fahsya wa al-munkar lam yazdad minallahi illa budan), [Al-Mu’jam al-Kabir, juz XI: 54]. Berbagai kasus dalam kehidupan orang-orang mukmin menjadi bukti tak terbantah atas pernyataan ini.

Miraj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia SWT dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Dalam sejarah Nabi saw dikenal dua jenis miraj: Khusus dan umum.

Miraj khusus dialami Nabi saw pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu, sedangkan miraj umum dialami Nabi saw pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allah dengan diangkat sebagai rasul.

Dalam wacana sufi miraj umum lebih sering disebut dengan istilah muraqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat sorga dan neraka dengan mata kepala (muraqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.

Dalam kitab Shahih-nya Imam Muslim memuat bab yang menyinggung soal muraqabah; di dalamnya diriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Hanzhalah al-Usayyidi, salah seorang sekretaris Rasulullah saw; ia berkata bahwa ketika Nabi bercerita tentang sorga dan neraka, ia dan Abu Bakar ra. merasa melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala mereka, tetapi masing-masing dari mereka banyak yang lupa apa yang mereka lihat, lalu mereka memutuskan untuk menghadap Nabi saw dan menanyakan hal itu. Dialog antara Hanzhalah dan Nabi dapat disimak dari kutipan berikut:

Aku (Hanzhalah) berkata, Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah. Rasulullah saw bertanya, Ada apa?. Aku (Hanzhalah) berkata, Wahai Rasulullah, kami pernah berada di hadapanmu mendengarkan engkau bercerita kepada kami tentang sorga dan neraka sehingga kami seolah-olah melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala. Setelah kami pulang dari hadapanmu, serta bertemu dan bermain-main dengan anak-istri kami dan pergi keperkarangan kami, kami banyak lupa tentang hal itu. Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian berkekalan dengan apa yang kalian lihat dihadapanku dan berkekalan dalam dzikir, niscaya para malaikat menjabat tangan kalian diatas tempat tidur kalian dan dijalan-jalan (tarekat-tarekat) kalian. Sayangnya, wahai Hanzhalah, (muraqabah itu) hanya sesaat dan sesaat (ini diucapkan tiga kali oleh beliau)” [Shahih Muslim, juz IV: 2106; Musnad Ahmad, juz IV: 346; Sunan al-Tirmidzi, juz IV: 666].

Dalam kasus tersebut para sahabat telah mengalami muraqabah dan sekaligus miraj, karena miraj pada dasarnya dapat dipahami sebagai naik dan melintasi alam fisik, keluar dari dimensi ruang dan waktu, serta memasuki dan menyaksikan alam metafisik ketuhanan. Pengalaman miraj para sahabat tersebut terjadi berkat bimbingan Rasul saw sebagai pemandu, sebagaimana Rasul sendiri mengalami miraj berkat bimbingan Jibril as. dengan izin Allah SWT. Dengan kata lain, mereka dibawa miraj oleh Nabi saw sebagaimana Nabi dibawa miraj oleh Jibril as. dengan izin Allah. (Lalu, bagaimana dengan orang-orang mukmin lain yang tidak bertemu dengan Nabi? Siapa yang akan membawa mereka miraj?!).

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman itu adalah bahwa yang bersangkutan pasti menyadari secara haqqul yaqin bahwa ungkapan al-Quran inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (kami milik Allah dan kepada-Nya kami pulang) [Al-Baqarah :156] adalah benar (haqq), dan bahwa mereka ketika hidup di dunia pada hakikatnya sedang berada dalam perjalanan pulang menuju Tuhan, sebuah perjalanan yang sangat sulit dan berliku-liku.

Dengan adanya seorang pemandu, perjalanan itu akan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar sehingga tepat sekali ungkapan Rumi yang dikutip sebelumnya, Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari.

Mursyid sebagai Khalifah Rasul

Imam-imam hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang didalamnya antara lain Nabi saw bersabda:

Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-rasyidun yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham kalian [Shahih Ibn Hibban, juzI: 179; sunan al-Tirmidzi, juz V: 44; Sunan Abi Dawud, juz IV: 200; Sunan Ibn Majah, juz I: 16; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, juz X:114].

Dalam hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi saw disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi saw sendiri. Tidak mungkin Nabi saw memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syara.
Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-khulaf al-rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-khulafa al-rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi saw di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara/pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra., Umar Ibn al-Khaththab ra., Utsman Ibn Affan ra., dan Ali Ibn Abi Thalib ra.

Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz ra diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-khulafa al-rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-khulafa al-rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi saw di bidang politik, pengertian al-khulafa al-rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi saw tidak sekedar sebagai kepala negara/pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.

Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh al-Quran digambarkan memiliki tugas-tugas:

(1) membacakan kepada umat ayat-ayat Tuhan, (2) menyucikan kalbu mereka, serta (3) mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah [Ali Imran : 164].

Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi saw sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-khulafa al-rasyidun pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW. diposisikan sebagai waratsah al-anbiya (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi saw atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham; mereka hanya mewariskan al-ilm (ilmu) [Musnad Ahmad, V: 196; Shahih al-Bukhari, I: 46]. Mereka itulah hamba-hamba pilihan yang kepada mereka Allah mewariskan al-Quran [Fathir, 35:32], sehingga mereka disebut dengan ahl al-dzikr yang kepada mereka setiap orang harus bertanya [Al-Nahl, :43; al-Anbiya, :7].

Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi saw juga tidak meminta upah atas dakwah beliau [Yusuf : 104]; dan Allah memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka [Yasin :21, Al Furqan :57].

Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allah, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.
Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib r.a. ketika berkata kepada Kuhail ibn-Ziyad, Demi Allah, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allah agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allah.

Bahwa al-khulafa al-rasyidun yang dimaksud oleh Nabi saw lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar Ibn al-Khaththab ra dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi saw agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni ra, seorang laki-laki dalam hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai khayr al-tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;

Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian [Shahih Muslim, juz IV: 1968; Musnad Ahmad, juz I: 38].

Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni ra inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah r.a., disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:

Iman ada di Yaman dan hikmah pun ada di Yaman (dalam riwayat lain ada tambahan: dan aku cium nafas al-rahman dari arah Yaman, atau, dan aku cium nafas Tuhanmu dari arah Yaman) [ Shahih al-Bukhari, III: 1289; Shahih Muslim, I: 72 dan Shahih Ibn Hibban, XVI: 288].

Nafas al-rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allah yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allah di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah saw [Al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab,juz I:113].

Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni ra dan Nabi saw meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Kualifikasi Mursyid

Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullah saw dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama itu sendiri, yaitu takut kepada Allah sebagaimana diisyaratkan al-Quran:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama (Fathir :28).

Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama su’ (jahat) :
Diantara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang dimaksud dengan ulama dunia disini adalah ulama su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu [Ihya Ulum al-Din, juz I: 58].

Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:

Mursyid adalah orang yang:
(1) dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan;
(2) format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi saw;
(3) mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa;
(4) memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi saw;
(5) terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya;
(6) suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, berangan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya;
(7) bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem; dan
(8) kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah saw sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (ilm al-mukallafin) [Khulashah al-Tashanif al-Tashawwuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, hal. 173].

Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-Mukarram Saidi Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:

1. Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allah SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allah, karena Allah.

2. Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allah, karena Allah.

3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allah, biidznillah.

4. Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.

5. Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh hadits dan Qur’an dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan hadits, Qur’an dan akal).

6. Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allah. Ia ada giat bergelora dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allah SWT dalam hidupnya.

7. Mengambil ilmu dari orang yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allah dan Rasul dengan silsilah yang nyata [Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, hal. 173].

Wasilah (Nurun ‘ala Nurin)

Ungensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah yang oleh Allah diperintahkan agar orang-orang mukmin mencarinya:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (yang menyampaikanmu) kepada Allah, serta berjuanglah di jalan-Nya, agar kamu menang. (al-Maidah :35)

Dari uraian-uraian berikut akan dipahami bahwa Mursyid adalah pembawa wasilah sebagaimana Jibril adalah pembawa Buraq yang oleh Imam Zubaidi disebut sebagai kendaraan para nabi [Syarh al-Nawawi Shahih Muslim, juz II: 210]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar