Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Senin, 09 Agustus 2010

ASY'ARIYAH

Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Al Jubai yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis pengajian gurunya Al-jubai. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya Al-Jubai ;

Asy’ari : Bagaimana menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan : mukmin, kafir dan anak kecil.

Al Jubai : Orang mukmin masuk surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.

Asy’ari : Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin ?

Al Jubai : Tidak mungkin, bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.

Asy’ari : Seandainya anak kecil itu berkata : memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.

Al Jubai : Allah akan menjawab : Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu sebelum engkau dewasa.

Asy’ari : Seandainya orang kafir itu bertanya kepada Allah : Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku dan mematikan aku selagi masih kecil ?

(maka Al Jubai terdiam, tidak mampu menjawab)

Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jum’at, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan berpidato :

“Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”

Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafus saleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.

Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Qur’an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode scholastis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.

Imam Abu Hasan Asy’ari pernah mengatakan :

“Sesungguhnya banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan Al-Qur’an menurut pendapat mereka sendiri, degan suatu ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul, begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu.”

Seorang Ulama dan peneliti asal Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan Asy’ari sebagai berikut :

1. Menempatkan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah).

2. Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa masuk dalam tasybih sebenarnya. (memasrahkan takwilnya pd Allah).

3. Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).

Imam Abu Hasan Asy’ari telah menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah Al Ibanah ‘An Ushul Ad Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin, aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’a, Maqalatul Islamiyyin dan Al-Luma’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar