Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Selasa, 30 Agustus 2011

10 KEUTAMAAN DARI SIKAP MUDAH MEMAAFKAN ^_^

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah, bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. an-Nur [24]: 22)

Pertama, dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut dapat didamaikan.

Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan, insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.

Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.

Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham dan pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa diperkokoh.

Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak teman. Islam melarang permusuhan antarsesama. Sebaliknya, Islam sangat menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya, karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan mempersubur persahabatan.

Keenam, melahirkan sifat tawadu', menghilangkan sifat sombong dan angkuh. Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan diri.

Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia, sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling memaafkan.

Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.

Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain, maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya orang lain akan memaafkan kesalahan kita.

Kesepuluh, sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang jitu. Kaum kafir Quraisy demikian dahsyat memusuhi Nabi Muhammad dan umat Islam. Umat Islam di masa itu, selalu diganggu, disiksa bahkan dibunuh. Tetapi, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah dan Jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW segera memaklumkan amnesty umum, memaafkan semua kesalahan semua orang kafir Quraisy. Tindakan Nabi itu, ternyata membuat mereka tersentuh dan terharu, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Disaat Hari Raya 'Idul Fihri ini, Kami sekeluarga menyampaikan "Selamat 'Idul Fithri"
Semoga semua amal kita di terima oleh Allah dan semoga kita semua digolongkan Allah termasuk orang-orang yang sholeh...Aamiin Allaahumma Aamiin ^_^

tidak lupa juga kami sampaikan ”MOHON MA’AF LAHIR & BATHIN”


الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Selasa, 23 Agustus 2011

KESELARASAN NILAI-NILAI PANCASILA DENGAN AJARAN ISLAM


Dewasa ini banyak kalangan yang membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan kondisi bangsa saat ini. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.

Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya. Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.

Tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi. Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara).

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa pihak mungkin masih dirasa ambigu, apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri negara ini.
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution, 1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945. Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998:  62).

Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).

Menurut Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.

Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme, serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.

Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalahkesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.

1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.

2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.

3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini.

1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT.  Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.

2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah ayat 8.

3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara.  Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.

5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.

Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.

Dengan demikian sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu masa ketika PANCASILA BERTASBIH.

TIDAK PERLU ADA KHILAFAH DI INDONESIA


Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (cet. 2001 hal. 204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.

Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.

Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad ( cet. 1988 hal. 147), menyatakan, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.

Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.

Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkanmudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, cet. 1988 hal. 148)

Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:

Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.

Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari masalah aqidahmelainkan termasuk persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.

Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.

Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan. Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman pemerintah, sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.

Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.

Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.

Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, cet. 1988 hal. 147).

Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, cet. 1998 hal. 348).

KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: ”NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.

Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak memiliki akar syara’, malahan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi.

Bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.

KHILAFAH DI MATA Dr. Nadirsyah Hosen (Dosen Islamic Law di Univ. of Wollongong, Australia)



1. Wajibkah mendirikan khilafah?

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah" dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.

Masalah kepemimpinan ini simple saja: “ Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin”. Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut "khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman?

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka:

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan 'Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (Musnad Ahmad:IV/273) .

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas.

Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb.Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:
"setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja."

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?

Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.

Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur :-)

Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek"

dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!". Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang,"demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!". Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya.Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda.

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna" maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku ttg khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, di
bunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yg turun karena masa jabatannya sudah habis.

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna sih :-)]. Dalam tradisi barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan" dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya. Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.

Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yg sudah ketinggalan kereta.

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh "pejuang khilafah" belakangan ini:
Rasulullah SAW bersabda:
"Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim)

Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat
(sila dikoreksi kalau keliru):

1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
3. Buyids (945-1055)
4. Fatimiyah (909-1171)
5. Saljuk (1055-1194)
6. Ayyubid (1169-1260)
7. Mamluks (1250-1517)
8. Ottoman (1280-1922)
9. Safavid (1501-1722)
10. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairodibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga :-)

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya.. .silahkan diteruskan sendiri.
Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?
Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, spt yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yg datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil" makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional- state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah dimana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yg jelas, maka para ulama berdebat, spt direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yg dibutuhkan utk membai'at seorang khalifah? Ada yg bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja utk membai'at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Disamping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang.Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara AlGore dengan Bush 4 th lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka. Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yg menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yg menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda, Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan spt yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tsb?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini "rekaman" kejadiannya:
Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk , sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamananya." Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita....

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim. astaghfirullah...

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.


Note:
Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafa'ur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah spt yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja ^_^

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya , dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI}, padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? jawabannya benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.
Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya.

Di saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dg penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apa lagi letak keberatan anda thd ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dlm berurusan dengan non-muslim:

1. ajak mereka masuk Islam
2. kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
3. kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.
Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, makaSingapore, Thailand, Philipine dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):
Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum'at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.
Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidakdisangka-sangka berikut ini.
"Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting – bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam."
"Hisyam!" Saya mencela. "Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusahauntuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!"
Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. "Ya," dia berkata, "Ya, itu benar."
Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka -berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brzail, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.
Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.
Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya utk memeluk Islam dg cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dg ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini: www.foia.cia. gov/2020/ 2020.pdf
Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020 :-)
Possible Futures
In this era of great flux, we see several ways in which major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on how trends interweave and play out:
Davos World " illustrating "how robust economic growth, led by China and India, … could reshape the globalization process";
Pax Americana " "how US predominance may survive the radical changes to the global political landscape and serve to fashion a new and inclusive global order";
A New Caliphate" "how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system"; and
Cycle of Fear" proliferation of weaponry and terrorism "to the point that large-scale intrusive security measures are taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world."
(The quotes are from the report's executive summary.)
Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range of other scenarios.
Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soalIndonesia lho. Ini prediksi mereka:
"The economies of other developing countries, such as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia's economy could also approach the economies of individual European countries by 2020."
Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika (menurut laporan tsb):
"Although the challenges ahead will be daunting, the United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the broad range of issues --economic, technological, political,and military-- that no other state will match by 2020."

Jadi, dari skenario fiktif yg mereka susun, Amerika tetap saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu...kok bisa-bisanya kawan-kawan pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)? Kita tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.

Tentang Penulis :

Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD adalah orang Indonesia pertama yang diangkat sebagai dosen pada fakultas hukum diAustralia. Pada tahun 2005 ia bekerja sebagai post-doctoral Research Fellow di TC. Beirne School of Law, Universitas Queensland, dimana ia mengajar mata kuliah "Comparative anti-terrorism law and policy" pada program master hukum.[1] Awal tahun 2007, Nadirsyah Hosen diangkat menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum, Universitas Wollongong. Ia mengasuh mata kuliah "Islamic Law" dan "Foundations of Law".[2]
Ia lulusan dari Fakultas Syari'ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia lalu meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies, dan Master of Arts with Honours dari Universitas New England. Kemudian ia meraih gelar Master of Laws dari Universitas Northern Territory.
Peraih dua gelar doktor (PhD in Law dari Universitas Wollongong dan PhD in Islamic law dari National University of Singapore) ini telah melahirkan sejumlah artikel di jurnal internasional seperti Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law (University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University), Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal of Islamic Studies (University of Oxford), and Journal of Southeast Asian Studies (Universitas Cambridge).
Disamping itu, Nadirsyah Hosen adalah seorang kiai dari organisasi Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Sejak tahun 2005, ia dipercaya sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru.
Beberapa tulisan dan kolomnya tersebar di media massa Indonesia seperti Gatra[3], Media Indonesia, The Jakarta Post dan Jawa Pos. Kumpulan artikel keislamannya bisa dibaca di Isnet.[4]
Pada bulan September 2007 Nadirsyah Hosen meluncurkan bukunya, Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia, yang diterbitkan oleh ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), Singapore, 2007.[5]

Referensi
  1. ^ Blog Nadir Hosen
  2. ^ Nadirsyah Hosen di situs Universitas Wolonggong
  3. ^ Sutiyoso dan Pengadilan Koroner. Gatra, 7 Juni 2007
  4. ^ Kumpulan artikel elektronik Nadirsyah Hosen
  5. ^ Rais Syuriah PCINU Australia Luncurkan Buku Berbahasa Inggris

KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF SYARI'AH


Oleh: Muh. Faishol Muzammil ( Ketua LBM PC NU Pati )

Apakah yang dimaksud Khilafah?

Khilafah secara etimologis mempunyai arti pergantian, dari kata khalafa-yakhlufu. Khalifah adalahorang yang mengganti orang lain dalam mengemban sebuah tanggung jawab tertentu baik pergantian disebabkan karena kematian yang diganti, kepergiannya, ketidakmampuannya atau karena berdasarkan sebuah ketulusan niat penghormatan dari yang diganti kepada yang mengganti .

Sementara dalam terminologi Fiqh Siyasah Islam, Khilafah dapat disimpulkan sebagai upaya mengarahkan seluruh manusia atas dasar pandangan syariat yang meliputi semua bidang kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia. Khilafah juga dapat disebut dengan imamah, sebuah istilah yang lebih populer dalam konsep Syiah. Dan disebut imamah karena menyerupai imamah dalam solat jamaah dimana makmum harus mengikuti imam. Jadi dalam teori Fiqh Siyasah, seorang khalifah atau imam bertugas sebagai pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. Berpijak dari tujuan inilah, mayoritas ulama mewajibkan tegaknya sebuah pemerintahan sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi sesaat setelah Nabi wafat .

Apakah Kitab Suci menerangkan Khilafah ini?

Dalam Kitab Suci al-Quran, kata khalifah dalam bentuk tunggal disebutkan dua kali yang pertama dalam Surah Al-Baqarah: 30 dalam tema awal penciptaan manusia.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, “Aku akan menciptkan di bumi ini seorang khalifah”
Yang kedua dalam Surat Shad: 26 dalam kisah pengangkatan Nabi Dawud as. sebagai khalifah..

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Wahai Dawud, Aku telah jadikan dirimu sebagai khalifah di bumi ini, maka tegakkan hukum di tengah-tengah manusia dengan kebenaran, jangan ikuti hawa nafsu sehingga menyesatkanmu dalam menempuh jalan Tuhanmu”

Lalu artinya?
Begini, dalam tafsir kata khalifah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 30 para ulama berbeda pendapat. Siapakah yang dimaksud sebagai “pengganti” itu dan siapakah yang digantikannya? Ada tiga pendapat yang disimpulkan Imam Mawardi (w. 450 H) .
Pertama, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ra., khalifah adalah Nabi Adam dan seluruh manusia, diciptakan untuk mengganti makhluk penghuni bumi sebelumnya.

Kedua, khalifah adalah seluruh anak-cucu Nabi Adam as. Mereka diciptakan dari generasi ke generasi, generasi pertama mengganti Nabi Adam as., yang baru mengganti yang lama, berkesinambungan. Pendapat ini dilontarkan tokoh dan ulama terkemuka periode tabi’in, Imam Hasan al-Bashri.

Pendapat ketiga, pendapat Ibn Mas’ud ra. khalifah ditafisiri dengan Nabi Adam dan juga sebagian anak-cucunya, diciptakan Allah menjadi pengganti-Nya dalam memberi keputusan hukum diantara manusia.

Perbedaan penafsiran ini sebatas pada ayat di Surat al-Baqarah saja. Dan, jika kita menilik keseluruhan ayat yang menggunakan kata turunan dari khilafah, khususnya bentuk jamak khalaif fil-ardl dan kata khulafa dalam QS. Al-An’am: 165 (khalaif al-ardl), QS. Fathir: 39, QS.Yunus: 14 (khalaif fil-ardl) dan QS. an-Naml: 62 maka, paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa predikat khalifahberlaku umum dan khusus:

(1) Khalifah berlaku umum untuk seluruh manusia, pemahaman ini tidak terbantah dari QS. Al-An’am: 165, QS. Fathir:39 (khalaif al-ardl) dan QS. An-Naml: 62 (khulafa al-Ardl). Ibn Katsir menambahi bahwa ayat-ayat ini senada dengan QS. Al-An’am: 133 (yastakhlifu), QS. Az-Zukhruf: 60 (yakhlufun) , QS. An-Naml: 62, QS. al-Baqarah: 30 dan QS. al-A’raf: 129 (wayastakhlifakum) .

(2) Khalifah digunakan lebih khusus untuk menyebut sebuah generasi manusia atau suatu bangsa tertentu; sebagaimana lafad khalaif dalam QS. Yunus: 73. menunjuk pengikut Nabi Nuh yang menggantikan penduduk bumi yang telah musnah karena banjir ; lafad Khulafa dalam QS. al-A’raf: 69 menunjuk kaum ‘Ad (kaum Nabi Hud) sebagai pengganti kaum Nabi Nuh; lafad yang sama di QS. al-A’raf: 74 ditujukan kepada kaum Tsamud (kaum Nabi Shalih) sebagai pengganti kaum ‘Ad. Masing-masing bangsa mengganti bangsa sebelumnya bukan dalam menduduki tempat atau kawasan tertentu, namun dalam memakmurkan bumi dan menjadi yang terdepan dalam perkembangan peradaban.

(3) Khalifah digunakan lebih khusus lagi, untuk individu yaitu Nabi Dawud as. dalam QS. Shad: 26 karena mengganti nabi sebelumnya .

Kesimpulannya, Khalifah, khulafa atau khalaif, dalam istilah Quran dapat disimpulkan sebagai manusia atau kumpulan manusia yang mampu mengemban amanah keadilan dalam memakmurkan bumi sehingga mereka menjadi manusia yang patut menggantikan generasi sebelumnya sebagai umat yang maju peradabannya dan menjadi poros dunia. Dan umat ini dijanjikan Allah akan menjadi khulafa di bumi jika mereka beriman dan bertindak laku kebaikan (shalihat) (Q.S. an-Nur:55).

Lalu apa persamaan antara khalifah dalam Kitab Suci dengan khalifah dalam konsep Fiqh Siyasah?

Dari paparan panjang di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah dalam Kitab Suci tidak dapat difahami secara manthuq sebagai kepala pemerintahan ataupun pimpinan dalam sebuah negara. Antara khalifah dalam pengertian al-Quran dengan khalifah dalam istilah ilmu politik Islam hanya terdapat kesepadanan linguistik saja, karena sama-sama sebagai pengganti dalam kedudukan tertentu. untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara, sulthon disebut khalifah karena dia mengganti kedudukan kepala negara sebelumnya
ومن ذلك قيل للسلطان الأعظم: خليفة، لأنه خلف الذي كان قبله، فقام بالأمر مقامه
Seperti Sahabat Abu Bakr disebut khalifah karena mengganti Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam.

Apakah Rasulullah pernah memperbincangkan tema khilafah?

Ya. Banyak hadis, banyak riwayat, Nabi menggunakan kata khalifah atau khulafa untuk menunjuk para pemimpin pasca wafatnya. Untuk itulah, Sayyidina Abu Bakar ketika dibaiat menjadi pemimpin umat Islam pasca Nabi, para sahabat menggelarinya Khalifaturrasul. Dan insya Allah, Secara lebih detail, hadis-hadis tentang khilafah akan kita bicarakan nanti sembari membaca secara kritis konsep khilafah dalam Fiqih Siyasah Klasik.

Bagaimana sebenarnya Khilafah dalam Konsep Fiqh Siyasah Klasik? Apakah Khilafah memang wajib ditegakkan?

Manusia, sesuai sunnatullah, dengan keyakinan apapun pastilah hidup berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling benci. Sebab fitrah manusia dalam membangun hubungannya antar sesama adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan (QS. Al-Hujurat:13). Konflik antar suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme yang oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan (al-musawah) dan persaudaraan (al-ukhuwwah), karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan membawa harkat martabat kemuliaan (karamah) yang diberikan Sang Maha Pencipta (QS. Al-Isro’:70). Dalam Haji Wada’, Nabi berpesan dalam khotbahnya yang sangat populer,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ
“Wahai manusia, Tuhan kalian adalah satu, Kakek kalian (Adam) juga satu. Tidak ada keutamaan Arab atas non Arab dan juga sebaliknya”.

Berangkat dari dasar ini, Islam mempunyai prinsip-prinsip (kulliyyat) yang menjadi pondasi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara. Prinsip-prinsip itu diantaranya; prinsip keadilan (‘adalah, qisth), kebebasan (hurriyyah), persaudaraan (ikhaa’), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliaan (karamah), amanah dan musyawarah. Prinsip keadilan adalah muara semua prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir (hadaf) seluruh ajaran Tuhan yang dibawa para utusan-Nya (QS. Al-Hadid:25). Keadilan dalam hal apapun dan kepada siapapun meski kecendruangan dan keinginan batin menuntut yang lain . Tidak terkecuali kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, al-Quran memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan. (QS. Al-Mumtahanah:8) bahkan keadilan kepada orang-orang yang memerangi kita sekalipun (QS. Al-Baqarah: 190).

Lebih jauh, Syaikh Qardlawi menegaskan, prinsip keadilan menuntut manusia untuk selalu selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan tidak adil (dhulm) dengan membela kaum miskin, masyarakat buruh, kaum perempuan dan anak-anak dan warga non muslim minoritas agar dengan posisi kita tersebut kita dapat menahan tangan-tangan ketidakadilan menimpa mereka. “Tolonglah saudara yang dizalimi dan yang menzalimi. Menolong mereka yang menzalimi artinya, engkau menahan tangannya dari berbuat zalim.”, demikian tegas Nabi

Jadi, Khilafah wajib ditegakkan untuk mengatur kehidupan agar orang yang lemah dapat memperoleh hak-haknya?

Tepat. Pada titik inilah kewajiban mengangkat Khalifah dalam konsep Fiqh Siyasah Klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok masyarakat, sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah. Nabi sendiri memerintahkan setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir untuk mengatur urusan bepergian mereka. .

Seorang pemimpin diangkat, karena diidealkan, pemimpin sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis merupakan, “bayangan Allah di bumi, tempat berlindungnya orang-orang lemah dan orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya” .

Untuk tujuan inilah, pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan berijma’ untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi dan disusul mayoritas ulama memberikan fatwa fardlu kifayah bagitegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia dan yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti hanya mengangkat seseorang dengan memberinya gelar khalifah.

Dalam konteks inilah, Nabi mengancam orang yang tidak peduli persoalan kepemimpinan dengan ancaman kematian ala jahiliyah (maitatan jahiliiyah) ”. Artinya, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi , mati seperti kaum jahiliyah yang hidup tak menentu karena tanpa pemimpin.

Apakah berarti mengangkat presiden atau raja juga bisa disebut mengangkat Khalifah?

Ya. Ajaran Islam dalam persoalan kepemimpinan tidak pernah berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun Islam berhubungan dengan makna dan substansi. Al-Ahkam manuthah bi ma’ani wa aushaf la bi asma’ wa asykal, demikian Ibnu Asyur memberi kaidah dalam Maqashid-nya. Artinya, semisal jika kata khinzir atau babi dalam suatu komunitas digunakan untuk nama jenis apel tertentu, tidaklah berarti apel tersebut menjadi haram. Yang dimaksud khinzir dalam Kitab Suci adalah hewan yang telah difaham secara baik oleh bangsa Arab, audiens atau mukhathab Kitab Suci ketika itu.

Jadi, mereka para pemimpin dengan gelar-gelar apapun juga masuk dalam kategori Khalifah.

Apakah mereka wajib ditaati?

Ya, tentu. Mereka juga disebut ulil amri yang diperintahkan Allah untuk ditaati walau dengan ketaatan yang tentu terbatas, yaitu sejauh tidak dalam hal maksiat kepada Allah, la tha’ata li makhluq fi ma’shiyat al-Khaliq.. Karena yang dimaksud ulil amri dalam QS. An-Nisa: 59, tidaklah melulu harus pemimpin yang bergelar khalifah, namun semua pemimpin yang mengatur dan bertanggung jawab dalam urusan-urusan umat, termasuk presiden, raja, sultan. Bahkan bukan hanya pemimpin politik (baca: penguasa militer dan sumber-sumber keuangan negara) namun juga kepada pemimpin agama dan para ulama.

Dan pemimpin-pemimpin terbaik yang pernah lahir dalam sejarah umat adalah Khulafa Rasyidun; Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali radliyallahu anhum ajmain. Kepemimpinan mereka inilah yang dimaksud Nabi sebagai “Khilafah” sebenar-benar khilafah yaitu khilafah yang berdiri diatas minhaj an-nubuwwah.

Maksudnya?

Begini. Ada sebuah istilah yang kita banyak lupa, yaitu Khilafah Nubuwwah. Khilafah Nubuwwah adalah istilah yang dipopulerkan Nabi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Sahabat Safinah ra. (salah satu pembantu di rumah Nabi), Nabi bersabda:

خلافة النبوة ثلاثون سنة ، ثم يؤتي الله الملك أو ملكه من يشاء "
“Khilafah (dalam sebagian riwayat, “Khilafah Nubuwwah”) setelahku berlangsung selama 30 tahun setelah itu berubah menjadi kerajaan (mulk)” .

Masa 30 tahun ini dihitung dimulai Khilafah Sayyidina Abu Bakr selama 2 tahun lebih lalu Sayyidina Umar bin Khattab selama 10 tahun lebih berikutnya khilafah dipangku oleh Sayyidina Utsman selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh khilafah Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib selama hampir 5 tahun tahun. atau diakhiri oleh Sayyidina Hasan bin ‘Ali menurut sebagian ulama.

Jadi, jelas setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa Khilafah, Khilafah sebenar-benar khilafah, yaitu khilafah yang berdiri di atas minhaj nubuwwah. Walaupun para pemimpin umat pasca Khulafa Rasyidun bergelar Khalifah, tepatnya setelah Sayyidina Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Sahabat Mu’awiyah, khilafah berangsur-angsur berubah menjadi al-mulk atau kerajaan.

Sesuai hadis ini, Khilafah telah berhenti dan tidak akan kembali?

Wallahu A’lam. Namun, dalam sebuah hadis yang hanya diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya disebutkan, Khilafah Nubuwwah akan kembali, yaitu setelah habisnya masa kekuasaan raja-raja yang keras dan menyengsarakan rakyat Sanad hadis Nabi ini sampai kepada Sahabat Hudzaifah bin Yaman.

Dan, dalam riwayat ini, salah seorang rawi yang juga menjadi sekretaris Sahabat Nu’man bin Basyir ra., Habib bin Salim namanya, sempat menulis hadis ini untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Habib dalam suratnya juga menuliskan harapannya semoga kepemimpinan Umar inilah saat kembalinya Khilafah Nubuwwah setelah berlangsungnya kerajaan yang zalim dan otoriter. Membaca hadis ini, Khalifah Umar tercengang sekaligus bergembira.

Sekali lagi, hadis ini membicarakan tentang Khilafah Nubuwwah. Sedang khilafah “biasa” sebagaimana penjelasan Nabi tentu sangat berbilang.

Namun, apakah hadis ini shahih?

Wallahu A’lam. Insya Allah, hadis ini memenuhi standar hadis hasan. Insya Allah . Dan kesimpulan Habib bin Salim memang patut dibenarkan. Mengingat sifat adil, amanah dan kezuhudan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sebagaimana sifat empat Khulafah Rasyidun, ia dikecualikan dari khulafa Bani Umayyah lainnya yang oleh Ibn Taimiah, Hafidh Ibnu Hajar dan Ibnul Qoyyim sudah tidak dimasukkan dalam kategori yang dipuji Nabi sebagai kepemimpinan khilafah nubuwwah . Kepemimpinan Bani Umayah menyerupai raja-raja. Tidak seperti yang diajarkan Nabi. Walaupun mereka bergelar khalifah namun sebenarnya mereka adalah raja-raja (al-muluk). Bahkan dalam sebuah riwayat, ketika ditanya tentang Bani Umayyah yang mengklaim bahwa mereka juga khulafa Nabi, Sahabat Safinah ra. berkomentar ketus, “Mereka dusta. Meraka sebenarnya adalah raja seburuk-buruk raja.”

Dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh para ulama disepakati sebagai mujaddid pertama yang dijanjikan Nabi dari mujaddid-mujaddid yang akan selalu muncul di awal seratus tahun setelah wafatnya.

Lalu apa sebenarnya perbedaan Khilafah Nubuwwah dan al-Mulk?

Kepemimpinan mulk dimulai pemerintahan Sahabat Mu’awiyah. Para ulama seperti Hafidh Ibnu Hajar menyebutnya sebagai raja pertama dalam sejarah Islam. Pada masanyalah kepemimipinan khilafah berangsur-angsur berubah menjadi kerajaan. Penjelasan sangat baik ditulis oleh Imam Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Dalam Muqaddimah, disebutkan bagaimana sikap meniru raja-raja yang selalu tampil dengan kemewahan pakaian, kendaraan dan iringan pengawal yang dilakukan Sahabat Mu’awiyah sejak menjadi Gubernur Syam pernah diperingatkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ra. Ketika itu Umar berkunjung ke Syam yang Mu’awiyah menjadi gubernurnya. Sayyidina Umar mendapati Sahabat Mu’awiyah berpakaian dan berkendaraan mewah, lalu Ia bertanya, “Wahai Mu’awiyah, bukankah yang Kamu lakukan ini gaya raja-raja Persi?” Sayyidina Umar mengidentifikasi sikap bermewah-mewah sebagai sikap raja-raja bukan Khalifah.

Jadi secara personality, Sahabat Mu’awiyah memang sejak mula mempunyai karakter seperti raja-raja.

Lebih detail, apa yang menjadi ciri utama sistem khilafah ini?

Ciri utama yang paling menonjol dari Khilafah Nubuwwah ini adalah kultur musyawarah (syuro) dalam pengambilan segala keputusan yang telah terbangun dengan baik (QS. Alu Imran: 159, Asy-Syuro: 38). Dimulai dari yang paling dasar yaitu musyawarah dalam mengangkat pemimpin. Sayyidina Umar menegaskan, “Siapapun mengangkat pemimpin tanpa musyawarah, maka tidak ada baiat”.

Pemimpin yang dipilih secara syuro, ia dengan sepenuh sadar melihat jabatan sebagai amanah pengabdian, kekuasaan menjadi alat untuk menegakkan keadilan di tengah umat. Tidak ada hal yang perlu dipertahankan dan diwariskan sebagaimana yang terjadi dalam bentuk kerajaan.

Sementara, dalam pemilihan Khulafa Rasyidun, mekanisme musyawarah yang dipraktekkan ada tiga; (1) pemilihan pemimpin tanpa kandidat seorang pun dari pemimpin sebelumnya seperti saat memilih Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, (2) pemilihan pemimpin dengan didahului penentuan kandidat tunggal tanpa disertai nepotisme, sebagaimana Khalifah Abu Bakar memunculkan nama Umar bin Khattab untuk dipilih, dan (3) pemilihan pemimpin dari beberap kandidat seperti saat Sayyidina Utsman. Mekanisme ini, sebagaimana tegas Imam Abu Zahroh (w. 1394 H/1974 M) dapat berubah sesuai konsensus umat, karena yang menjadi prinsip adalah musyawarah yang partisipatif, bebas dan bertanggung jawab .

Khulafa Rasyidun selalu memimpin umat dengan tunggal. Artinya tidak ada dualisme kepemimpinan ketika itu. Apakah kemudian dapat disimpulkan bahwa khilafah harus tunggal dan global melewati batas-batas negara seperti saat ini?

Dalam sejarah awal umat Islam belum dikenal konstitusi tertulis yang disepakati bersama sebagaimana sekarang yang berisi diantaranya tentang kriteria Khalifah, mekanisme pemilihan, syarat ahl al-hall wal-áqd, lembaga yang yang berhak membaiat seorang Khalifah. Ketika itu, konsep Baiat masih kabur.

Baiat, sebagai sebuah bentuk kontrak politik langsung antara Khalifah dan rakyat, ketika itu, dilakukan oleh elite masyarakat. Sebenarnya, seperti dalam pengangkatan Sahabat Abu Bakar menjadi Khalifah,tidak semua umat Islam diseluruh penjuru wilayah datang ke Madinah membaiatnya. Hanya sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah saja yang melakukan. Kelompok elit dan terbatas inilah yang kemudian disebut ahl al-hall wal-‘aqdi, mewakili umat untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin dari jabatannya.

Jadi benar, pada masa Khulafa Rasyidun memang tidak pernah terjadi dualisme kepemimpinan dan setiap Khalifah selalu mendapat dukungan mayoritas umat Muslim ketika itu. Namun selang beberapa belas tahun, tepatnya pada masa Khalifah ‘Ali Bin Abi Thalib, telah muncul bibit-bibit disintegrasi. Karena perangkat politik ketika itu yang sangat sederhana, belum ada lembaga perwakilan yang jelas sehingga pengangkatan atau baiat yang dilakukan warga Madinah kepada Sayyidina Ali tidak diakui Sahabat Mu’awiyah, Gubernur Syam ketika itu. Hingga akhirnya pecahlah perang Shiffin yang berakhir dengan Majlis Tahkim lalu terjadilan pembunuhan Sayyidina Ali.Dan setelah itu, tercatat dalam beberapa bulan terdapat dualisme Khalifah dalam umat Islam, antara Sayyidina Hasan bin Ali dan Mu’awiyah.

Dalam konsep kepemimpinan Islam dan juga konsep apapun, selalu mengandaikan terwujudnya kepemimpinan yang kuat. Loyalitas rakyat selalu dapat terjaga. Dalam sebuah baiat kepada pemimpin, misalnya, sebagaimana dalam tradisi Arab, maka terjadilah kontrak politik, peneguhan komitemen bersama antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Ketaatan atas baiat ini adalah bentuk politis dari prinsip amanah (wafa’ bil ‘ahdi) yang ditunaikan selama pemimpin menjalankan kepemimpinannya. Dan ketaatan ini, oleh Nabi, tidak boleh dikhianati dengan gerakan-gerakan makar atau kudeta (baghy, khuruj), penarikan baiat (iqalah ‘an al-bai’ah) ataupun pembaiatan kepada orang lain (dualisme bai’at). Nabi sendiri memerintahkan untuk memerangi siapapun yang berkhianat atas komitmen ketaatan (bai’at) yang pernah dilakukan, “fadlribu ‘unuqa al-akhar”

Namun, para fuqaha lebih khusus fuqaha sunni dalam menyusun teori suksesi lebih memilih mempertimbangkan fakta dan realitas politik (de facto) dari pada legalitas. Hal ini demi terjaganya stabilitas dan maslahat yang lebih besar. Buktinya, dalam konsep Fiqh Siyasah klasik, kekuasaan yang diraih dengan jalan kudeta (khuruj, ghalabah) dibenarkan dan legitimate walaupun tanpa adanya baiat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad baiat tidaklah menjadi syarat , realitas politiklah yang menjadi pertimbangan utama.

Artinya, siapa yang menang maka dia secara de facto adalah penguasa yang sah? Walau tanpa baiat dari rakyat yang dilakukan secara sukarela?

Ya. Para ulama bukan hanya melihat “butir-butir ideal”, namun lebih memandang realitas. Bahkan, Imam Haramain asy-Syafi’i (w. 478 H) dan Ustadz Abu Ishaq al-Isfiraini asy-Syafi'i (w. 476 H) bependapat, pemisahan diri sebuah wilayah dari pemerintahan pusat juga mendapat legitimasi jika terdapat jarak yang sangat jauh antar keduanya. Sekali lagi fakta politiklah yang menentukan . Pemimpin baru ini lebih sering disebut waliyyu al-mar adl-dlaruri bisy-sayukah, dan mendapat hak ketaataan sebagaimana pemimpin sebelumnya.

Diceritakan dalam Shahih Muslim, putra Sahabat ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah, ketika di dekat Ka’bah menyampaikan hadis Nabi tentang celaan kepada para pemeberontak, ditanya seseorang tentang kedudukan Sahabat Mu’awiyah ra. yang merebut kekuasaan dari Sayyidina Ali. Abdullah menjawab, “Taatilah dalam hal ketaataan kepada Allah..!”

Namun, tampak sekali keadilan dan kebenaran dikesampingkan? Bagaimana seseorang menjabat dengan cara ilegal dan inkonstitusional mendapat ketataan sedemikian rupa?

Jika dilihat dari sudut pandang keadilan tentu. Namun fuqaha bukanlah mereka yang hanya bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Namun lebih dari itu, mengetahui ashlahul mashlahatain dan afsadatul mafsadatain, paling maslahat dari dua hal yang maslahat dan paling mafsadah dari dua hal yang mafsadah. Tentu, realitas tidak bisa ditabrak dengan mengorbankan kemaslahatan yang lebih besar.

Dan berangkat dari sejarah panjang inilah, kenapa sekarang teoritikus politik modern perlu mengoreksi ketaatan dalam konsep klasik yang tidak mengenal periodisasi jabatan. Teori klasik mengharuskan ketaatan ditunaikan hingga sang pemimpin berakhir masa kepemimpinannya baik karena meninggal, mengundurkan diri atau bahkan dikudeta. Sementara dalam konstitusi negara modern sebagai bentuk konsensus-konsensus politik umat (al-wa’du, al-‘ahdu, syuruth), pembatan masa jabatan adalah menjadi klausul penting, dan hal ini dibenarkan karena tidak bertentangan dengan nash-nash qath’i.

 Kesimpulan Akhir?

Pesan kuat yang dapat ditangkap yaitu bahwa setiap manusia tidaklah diciptakan tanpa sejarah yang telah mendahuluinya. Untuk itu manusia dituntut untuk selalu dapat melihat sejarah dengan penglihatan positif (i’tibar), memilahnya, menjadikannya pelajaran dan petunjuk untuk secara optimis melakukan kerja-kerja pengembangaan kehidupan dan peradaban. Sejarah buruk masa lalu, bangsa-bangsa dan kaum-kaum para Nabi yang disiksa dan dibinasakan karena durhakanya -sebagaimana dapat dibaca dari banyak tempat di Kitab Suci- adalah ibrah bagi ulil abshar yaitu orang-orang mempunyai kecerdasan spritual (QS. Yusuf: 111). Sebagaimana sejak sebelum penciptaan manusia, Allah telah menegaskan kepada para malaikat untuk tidak melihat “masa lalu” bumi ini dengan pandangan pesimis (QS. Al-Baqarah:30), mengingat –sebagaimana tafsiran Ibnu Katsir - banyak manusia pilihan akan lahir dibumi. Mereka adalah para rasul, nabi, orang-orang jujur, salihun, para syahid, para zahid, para ahli ibadah, auliya’, ulama, para pecinta Allah dan mereka para pengikut utusan-utusan Allah. Merekalah manusia-manusia yang dapat mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah yang akan meraih janji-janji Allah,

“Allah menjanjikan kepada orang-orang dari kalian semua, yang beriman dan berlaku dengan tindak laku kebaikan, sungguh Allah akan menjadikan mereka pengganti(yastakhlif) (dari kaum sebelumnya, tafs. ) di bumi ini sebagaimana Allah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai pengganti-pengganti di bumi ini, sungguh Allah akan mengokohkan bagi mereka agama mereka yang Allah telah memilihkan agama itu bagi mereka, dan sungguh Allah akan memberi ganti kepada mereka rasa tentram pasca ketakutan yang mereka rasakan. Mereka menyembahku tidak menyekutukanku. Siapapun dari mereka bertindak kufur maka mereka adalah tergolong orang-orang fasik” (Q.S. an-Nur:55)

Siapapun yang dapat mengemban amanah Tuhan, Tuhan akan memberikan kepadanya posisi penting (makanah) sebagai pusat peradaban manusia di bumi dan dialah khalifah Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana tercermin dalam posisi umat pengikut Nabi Muhammad dibawah kepemimpinan Khulafa Rasyidun. Mereka adalah contoh umat yang dapat mengemban amanat Tuhan dengan sebaik-baiknya. Mereka - seperti kesimpulan Adl-Dlahhak juga oleh Imam Malik - yang dimaksud sebagai orang-orang beriman yang meraih apa yang dijanjikan Allah dalam ayat di atas :

Imam Qusyairi menjelaskan bahwa ayat ini juga memberi isyarat akan posisi para ulama sebagai penjaga ajaran agama, penuntun masyarakat. Merekalah khalifah-khalifah yang memiliki posisi penting sebagai tiang-tiang agama (da’aim al-millah, arkan al-Islam) dalam tugas manusia memakmurkan bumi. Mereka adalah para pengahafal Quran dan Hadis, sarjana-sarjana fiqh, ahli-ahli teologi dan para wali-wali Allah.

Lebih jauh, Ibn ‘Asyur, mufassir terkemuka abad-14 H, penulis Tafisr at-Tahrir wat-Tanwir menjelaskan, kaum yang tidak berimanpun dapat menjadi pusat peradaban di bumi, sebagaimana bangsa Eropa di era ini karena mereka mampu melakukan tugas-tugas kekhalifahan di bumi seperti berbuat adil, berlaku positif (ihsan), memenuhi hak-hak persaudaraan (itai dzil qurba), mencegah tindak keji, mungkar dan kezaliman , menjauhi perilaku eksploitatif atas milik orang lain, menjauhi sikap permusuhan dan mereka menjalankan tata hubungan sesama manusia dengan saling menghormati dan toleran. Semua ini, berhasil mereka rumuskan dari kajian mereka yang terus menerus di saat perang Salib atas peradaban Islam; sejarah Islam, tata hukum Islam dan kehidupan Nabi. Sejarah kekalahan umat Islam saat ini sebenarnya mengulang sejarah Bani Israil dahulu kala, walaupun mereka beragama monotheis harus kalah oleh kaum Asy-Syuriyyun yang musyrik .

MARAJI'
. Raghib al-Ashfihani, faktor pemberian kehormatan inilah yang oleh Raghib
. Imam Ibnu Khaldun, op.cit. h. 151
. Imam Ibnu Khaldun (w. 808 H), Muqaddimah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2003), cet. ke-8, h. 150-151. Lihat juga Imam Mawardi (w. 450 H), al-Ahkam as-Sulthaniah, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tth.), ed. Khalid Abdul Lathif As-Sab’i al-‘Alami, h. 29.
. Imam Mawardi dalam Tafsir an-Nukat wal-‘Uyun (CD Maktabah Syamilah)
. Secara lebih detail dan argumentatif penjelasan atas tafsiran Imam Hasan al-Bashri ini dapat kita temukan dari Imam Razi dalam Tafsir Kabir-nya. Tafsiran ini dikuatkan dengan QS. Al-An’am: 165, (dan ayat-ayat lain, penj.) bahwa semua manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi. Disamping bahwa tafsiran ini sah dari sudut kajian tata bahasa, karena khalifah masuk dalam kategori isim jama’. Dalam Disiplin ilmu Nahwu, isim jama’ dibedakan dengan jama’. Kategori pertama dapat digunakan untuk makna tunggal ataupun plural, juga dapat buat laki-laki maupun perempuan.
. Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas QS. Al-An’am: 165.
. Lihat misalnya Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?)
. Lihat misalnya Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?) dalam tafsir QS. al-A’raf: 74.
. Imam Mawardi juga menyebutkan tafsiran lain, Nabi Dawud menjadi khalifah dari Allah artinya khilafah mempunyai arti kenabian. Masuk dalam penggunaan lebih khusus ini adalah QS. Al-Baqarah: 30 yang oleh sebagian ulama, khalifah adalah Nabi Adam as. Sementara itu, Imam Ibn Taimiah mencoba menyingkap kesesuaian antara Nabi Adam dan Nabi Dawud sehingga disebut khalifah. Menurutnya, keduanya sama-sama mendapat cobaan dari Allah dengan melakukan kesalahan dan kemudian menempuh tobat yang sungguh-sungguh hingga meraih ketinggian derajat. Lihat Majmu’ Fatawa, 9/198.
. Imam Thabari, Jami’ul Bayan,
. Untuk itulah, dalam keluarga, suami berpoligami tetap harus berbuat adil dalam urusan-urusan lahiriah meskipun perasaan hati dengan masing-masing istri tidak mungkin disamakan (QS. An-Nisa:3 dan 129).
. Dr. Yusuf Qaradawi dalam salah satu bukunya yang dirilis dalam www.qaradawi.com. Qaradawi juga membagi wilayah keadilan menjadi tiga; (1) keadilan hukum dimana semua manusia dalam posisi sama di depan hukum, (2) keadilan sosial, berhubungan dengan kesamaan hak dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi dan hak-hak dasar manusia seperti pendidikan dan lapangan kerja (QS: al-Hasyr: 7) , (3) Keadilan negara yang meliputi persoalan hubungan antar negara dalam kondisi damai atau perang.
. Hadis perintah mengangkat pemimpin dalam bepergian dikutip Imam Nawawi dalam Riyadl ash-Shalihin dari Riwayat Imam Abu Dawud. Imam Nawawi menghukumi hasan.
. Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah al-Ahadits adl-Dlaifah, no. hadis: 1663 sementara Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan hadis yang semakna dengan hadis diatas dengan menghukuminya sahih. Lihat Majmu’ Fatawa, 9/198.
. Imam Nawawi, Syarh Muslim no. hadis: 3444.
. Lihat misalnya Imam Ibnu Katsir dan Syaikh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya.
. Lihat al-Albani as-Silsilah ash-Shahihah (?) hadis no.459 dengan sumber periwayatan dari Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Hibban, Hakim, Imam Ahmad, dll Hadis ini sempat digugat beberapa ulama dari aspek sanad dan matannya, diantaranya Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah dan Ibnul ‘Arabi dalam al-‘Awashim. Namun Syaikh al-Bani menjawab semua krirtik keduanya.
. Banyak sumber sejarah memberikan informasi lebih detail dengan mencatat hitungan hari sisa namun informasi mereka berbeda-beda. Ketidakcocokan satu dengan yang lain ini sangat wajar karena keterbatasan adminsitrasi tata pemerintahan ketika itu. Lihat al-Albani dalam Silsilah Sahihah, Muhammad al-Khudlari Bik dalam Itmamul Wafa, h. 61.
. Lihat Imam Ahmad dalam Musnad no. 17680 dan berikut terjemahan aslinya :“Berlangsung masa kenabian -demikian kehendak Allah berlangsung-. Lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya- dan berlangsunglah masa khilafah sesuai manhaj kenabian -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu khilafah beralih menjadi kerajaan yang sangat dhalim (mulkan ‘adldlan) kepada rakyatnya -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu beralih menjadi kerajaaan yang sangat otoriter (mulkan jabriyyah) -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu beralih menjadi khilfah sesuai manhaj kenabian” lalu Nabi diam.
. Imam Ahamd meriwayatkan langsung dari Abu Dawud at-Thayalisi, mendengar dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi, mendengar langsung dari Habib bin Salim, mendengar langsung dari Sahabat Nu’man bin Basyir yang ketika itu mendengar hadis ini dari Sahabat Hudzaifah. Ath-Thayalisi, adalah imam dan penulis Musnad. Al-Wasithi, oleh Ibn Hibban dan at-Thayalisi sendiri disebut sebagai orang tsiqah (lihat Ta’jil al-Manfa’ah dan Dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi). Dan Habib menurut kesimpulan Ibn Hajar adalah la ba’sa bihi (lihat Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani).
. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari (Damaskus: Makatabah Darul Faiha’, 2000), cet. Ke-3.
. Ibnul Qoyyim dalam syarahnya atas Sunan Abu Dawud (?)
. Lihat misalnya Imam Thabari dalam Tarikhnya (?)
. Imam Abu Zaharoh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 81-83.
. Imam Muslim, Shahih Muslim, no. hadis: 3431.
. Imam Abu Zahroh, op. cit. hal. 85.
. Pendapat ini, sebagaimana informasi Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, no. hadis: 3431 dilontarkan Imam Haramain dalam kitabnya al-Irsyad fi Ilm al-Kalam. Imam Haramain menyebutkan masalah ini tidak termasuk qathiyyat, namun Imam Nawawi membantahnya. Sementara Imam Ibnu Katsir (op.cit. juz.1, h. 231) menuturkan bahwa Imam Haramain menceritakan pendapat Imam Abu Ishaq dalam masalah ini dan ia sendiri belum menentukan pendapat secara pasti. Sementara Ibnu Katsir, tampak menerima pendapat ini.
. Ibid..
. Imam Ibnu Katsir, Tafsir
. Lihat tafsiran ini dalam Imam Ibnu Jauzi, Zadul Masir
. Kata yastakhlifu dalam ayat ini sebagaimana juga di QS. Al-An’am: 133, QS. Hud: 57, QS. Al-A’raf: 129 mempunyai pengertian: menjadikan pengganti. Artinya, seperti dalam QS. Al-An’am: 133, “…jika Allah berkehendak, Allah (mempunyai kuasa) melenyapkanmu dan menjadikan umat setelahmu sebagai penggantimu sebagaimana (kuasa) Allah yang telah menumbuhkan kamu sekalian dari keturunan kaum (umat Nabi Nuh) yang berbeda (bahasa, kultur dan kebangsaannya)”. Kata yastakhlifu ini searti dengan kata yastabdilu dalam QS. At-Taubah: 39, “ Jika kalian tidak berangkat berjihad maka Allah akan menyiksa kalian dengan siksa yang sangat pedih dan Allah akan menjadikan ganti kaum selain kalian….”
. Ibnu ‘Asyur, op.cit.
. Tafsir Imam Qusyairi.
. Q.S. an-Nahl: 90
. Q.S. an-Nisa: 29
. Ibnu ‘Asyur, op.cit. Kaum as-Syuriyyun adalah sebuah bangsa yang pernah hidup di kawasan Irak yang berjaya di abad 14 SM, lihat al-Munjid.