Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Rabu, 27 April 2011

RENUNGAN (BETAPA SUSAHNYA AMALAN BATHIN)

Bismillaahirrohmaanirrohiim

1. Ketika kita sembahyang, lahirnya kita berdiri, rukuk dan sujud dengan mulut komat-kamit memuji dan berdoa kpd Allah, tetapi sebenarnya di manakah hati kita (ingatan dan fikiran)? Adakah ia juga menghadap Allah, khusyuk dan tawadhuk serta merasa rendah dan hina diri dengan penuh pengabdian dan harapan serta malu dan takut kepada Allah swt? Atau adakah hati kita terbang menerawang ke mana-mana tempat dengan berpaling pada Allah Yang Maha Agung yang sedang disembah? Begitu juga ketika kita membaca Al-Quran, berselawat, berzikir, dan sebagainya lagi... adakah roh kita turut menghayatinya?

2. Pernahkah kita merasa indah bila bersendirian di tempat sunyi karena berdzikir pada Allah dan memberikan sepenuh perhatian kita kepadaNya, merasa rendah dan hina diri, menyesali dosa dan kelalaian, mengingatiNya sambil berazam untuk memperbanyak amal sholeh demi mendapat ridhoNya?

3. Kalau ada orang Islam yang ditimpa bencana dan berada dalam penderitaan, adakah hati kita merasa belas kasihan untuk membantu atau mendoakan dari jauh agar mereka mendapat pertolongan dari Allah?

4. Pernahkah kita menghitung dosa kita, lahir dan batin? Bila teringatkan dosa-dosa kita, apakah mudah untuk kita menangis menyesali diri sambil memohon ampunan Allah dan bertaubat kepadaNya?

5. Apakah kita sentiasa ingat pada mati yang akan datang beberapa saat saja lagi? Sebab Allahlah yg Maha Menghidupkan juga yg Maha Mematikan. Jadi ketika umur ini masih ada, apakah kita berusaha mencari jalan untuk mendekatkan diri kita kepadaNya?

6. Pernahkah kita hitung berapa banyak harta kita, duit kita, rumah kita, kereta kita, perabot kita, piring dan mangkuk kita, kain baju kita, makanan kita, dan lain-lain kepunyaan kita yang melebihi dari keperluan kita sendiri (yang halal)? Karena mana yang berlebihan itu akan dihisab, ditanya, dicerca, dan dihina oleh Allah di padang Mahsyar nanti apabila kita lebih sibuk menambah urusan dunia dan meremehkan akhirat?

7. Pernahkah kita merenung siapa2 saja orang-orang yang pernah kita kasari, umpat, tipu, fitnah, hina, kutuk, dan aniaya bisa kepada suami, isteri, ibu bapak, saudara , sahabat , tetangga dan siapa saja, supaya kita bisa meminta maaf dan membersihkan dosa dengan manusia di dunia ini lagi tanpa menunggu hari yg dahsyat? dan Senangkah kita untuk memaafkan kesalahan orang lain dan apakah kita mudah untuk terus meminta maaf bila bersalah?

8. Apabila kita sakit karena merupakan ujian dari Allah, dapatkah kita tenangkan hati kita dengan rasa kesabaran dan kesadaran bahwa sakit adalah kifarah dosa (pengampunan dosa) atau sebagai peningkat derajat dan pangkat di sisi Allah swt?

9. Ketika menerima takdir yang kita rasakan tidak sesuai dengan kehendak kita, dapatkah kita merasa ridha bahwa itu adalah satu pemberian dari Allah yang terbaik untuk kita?

10. Di waktu mendapat nikmat, terasakah di hati bahwa itu adalah pemberian dari Allah, lalu timbul rasa terima kasih kepada Allah dan rasa takut kalau-kalau ia tidak dapat digunakan di jalan Allah dan berazam untuk menggunakan nikmat itu demi Allah jua?

11. Kalau ada orang yang mengatakan atau mencerca kita di belakang kita, dapatkah hati kita merasa tenang lalu kita diamkan saja (tanpa rasa sakit dan susah hati serta dendam) bahkan kita memaafkan orang itu sambil mendoakan kebaikan untuknya sebab merasakan ia telah memberikan pahala kepada kita melalui cercaannya itu?

12. Begitu juga kalau orang menipu, menganiaya dan mencuri harta kita, mampukah kita relakan saja atas dasar kita mendapat pahala menanggung kerugian itu?

13. Kalau orang lain mendapat kesenangan dan kejayaan, dapatkah kita merasa gembira dan turut bersyukur serta mengharapkan kekalnya nikmat itu bersamanya tanpa ada rasa dengki dan sakit hati dengan kejayaan org itu?

14. Sanggupkah kita berbagi dengan orang lain di waktu orang itu memerlukan sesuatu yang kita juga perlukan?

15. Apakah kita merasa puas dan cukup dengan apa yang ada tanpa mengharapkan apa yang tidak ada?

Susah agaknya untuk kita menjawab persoalan2 di atas dengan jawaban2 yang seharusnya karena memang susah bagi insan biasa seperti kita untuk benar-benar menyempurnakan amalan batin. Walau bagaimanapun kita seharusnya menyimpan niat di hati kita dan seterusnya bersungguh-sungguh bermujahadah untuk menyuburkan amalan-amalan batin kita kerana amalan batin adalah lebih penting dari amalan lahir.
Rasulullah saw bersabda :
"Allah tidak memandang rupa dan harta kamu, tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu." (Hadits Riwayat Muslim)

Marilah kita terus belajar memperbaiki diri untuk membersihkan dosa lahir dan batin kita. Mari kita bermujahadah untuk itu. Mudah-mudahan Allah menolong dan meridhai kita. Aamiin Allaahumma Aamiin

Firman Allah:
"Dan mereka yang bermujahadah kepada jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan jalan-jalan Kami itu. Sesungguhnya Allah berserta dengan orang-orang yang berbuat baik." (Surah Al-Ankabut: ayat 69)

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

ORANG TUA RASULULLAH SAW.

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Sejenak ana tarik nafas dalam2 karena melihat beberapa tulisan yang memojokkan kedua orang tua Nabi Muhammad saw, di katakan bahwa ayah dan ibunya baginda Nabi saw meninggal dalam keadaan syirik dan kafir. Argument tersebut di ambil dari sebuah hadist Nabi “Abuka wa Abi finnar” arti tekstualnya “ayahmu dan ayahku di dalam neraka”

Sebuah perabaan makna yang harus di garis bawahi oleh para penulis tersebut dan sekalian khalayak umum, dimana sebagian telah membaca maklumat tersebut. Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita ketika hadist tersebut di maknai bahwa ayahnya rasulullah saw berada didalam neraka, apakah Allah swt menurunkan Nabi Muhammad saw kepada rahim ibu yang kafir..?? lalu betapa mulianya golongan orang kafir ketika sebagiannya di pilih menjadi sosok Nabi yang paling mulia dari nabi-nabi sebelumnya, sehingga bisa dicerna dengan akal kita, bahwa bila demikian maka alangkah rendahnya kedudukan orang-orang muslim di sandingkan dengan mereka golongan kafir. Melihat penafsiran makna hadist di atas yang demikian. Bukankah Allah swt senantiasa selalu menurunkan para Nabi dan rasul dari keturunan yang baik-baik. Dari prihal di atas penulis merasa bahwa itu merupakan pemaknaan yang cacat, di bawah berikut ini dipaparkan beberapa dalil yang menghapuskan maklumat tersebut :

1. Bukankah Allah swt mengatakan dalam kalam-Nya yang suci “dan kami tidak akan mengazab sampai kami utus seorang rasul” (al-Isro : 15) meninggalnya orang tua Nabi sebelum di turunkannya wahyu ilahi kepadanya (menjadi rasul) maka ketika itu tidaklah Allah mengazab mereka.

2. Kelahiran Nabi Muhammad saw pada masa yang di sebut dengan masa “fatroh” maksudnya adalah terputusnya risalah kenabian dari masanya Nabi Isa as sampai pada kelahiran Nabi saw mencapai kira-kira 500 tahun, dan itu merupakan waktu yang cukup lama. Ketika masa itu belumlah di turunkan risalah kenabian, maka Allah mengatakan dari ayat di atas tadi, bahwa sebelum datangnya Rasul maka tidaklah bagi mereka mendapat azab.

3. Allah SWT –pun menjaga silsilah Nabi saw, mulai dari masanya sayyidina Adam as sampai pada masa kelahiran beliau (Nabi saw) hal ini di katakan dalam firman-Nya : “Bertawakallah kepada (Allah) yang maha perkasa lagi maha penyayang, yang melihatmu ketika kamu ada, dan berpindahnya kamu di dalam (solbun) orang-orang yang sujud (mukmin)” perpindahannya silsilah Nabi saw benar-benar Allah jaga sehingga perpindahan (silsilahnya) melalui orang-orang yang bersujud (mukmin).

4. Nabi Muhammad saw sendiri bersabda : “Aku berpindah dari solbin yang baik kepada rahim yang suci, tidaklah Aku berasal dari benih orang-orang Jahiliyah, maka sesungguhnya aku adalah orang pilihan dari yang terpilih dan dari yang terpilih” sangat jelas sekali disini bahwa Nabi saw berpindah silsilahnya dari yang mukmin kepada rahim yang suci dan terus sampai beliau terlahir, itu semua tidak lain benar-benar dari golongan orang-orang yang mukmin dan bukanlah orang-orang jahiliyah.

Dari beberapa dalil di atas, bahwa bagaimana mungkin seorang Nabi penutup (akhir dari semua nabi) di lahirkan oleh seorang kafir. Adapun hadist yang menyebutkan “Abuka wa abi finar” memiliki makna, bahwa disitu terdapat kata “Wa” bukanlah “wa idhofi” akan tetapi “wa al-Qosam” yang berarti penta’kidan. Sehingga arti yang sebenarnya adalah “ayahmu dan demi ayahku (benar-benar ia) dalam neraka”, di lihat dari kisahnya, bahwa ketika itu ada seseorang yang bertanya kepada Nabi saw, wahai nabi ayahku meninggal apakah ia masuk surga..??jawab nabi “tidak dia didalam neraka” di tanya kedua kalinya “wahai nabi apakah ayahku masuk surga..??” jawab nabi “tidak dia didalam naraka” namun orang tersebut masih belum puas dan kembali bertanya “wahai nabi apa benar ayahku di dalam neraka..??” maka akhirnya Nabi saw memberi penekanan “Abuka wa Abi finar” ayahmu dan demi ayahku ia benar-benar di dalam neraka. Demikianlah yang sebenarnya. Semoga menjadi sebuah renungan bagi kita.

Alhamdulillaahirrobbil'aalamiin

AQIDAH RASULULLAH DAN SAHABAT

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:

“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini (jism) terbagi menjadi dua macam;

1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Rasulullah bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)

Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, hal. 333).

Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hal. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah:
“Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
“Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).

Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.

Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w 324 H) -Semoga Allah meridlainya- berkata:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).

Al-Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al-Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.

Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul.

Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah”. Beliau berkata:
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.

Perhatian….!
Waspadai.. Keyakinan Tasybih [Keyakinan Allah serupa dengan makhluk-Nya] yang kian hari semakin merebak… Jangan sampai merusak genarasi kita!!!?

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

PENGERTIAN ASWAJA

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal jama'ah. ada tiga kata yg membentuk kata tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yg datang dari Nabi Muhammad yang berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad.
3. Al-Jama'ah, yaitu apa yg disepakati oleh para sahabat Rosulullah pd masa Khulafaur Rosyidin (Abu Bakar, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib)

Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Nabi saw: "Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yg damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-Jama'ah (HR. Tirmidzi dan Hakim, hadits shohih menurut al-Dzahabi)

Syekh Abdul Qodir al-Jaelani (471-561 H) menjelaskan:
"Al-Sunnah adl apa yg telah diajarkan oleh Rosulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yg telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafaur Rosyidin yang empat, yg telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kpd mereka semua) (Al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq, Juz 1, hal 80)

Lebih jelas lagi hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari (1287-1336 H) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta'liqot hal. 23-24, sebagai berikut:
"Adapun Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yg mengikuti dan berpegang teguh dg sunnah Nabi saw. dan sunnah Khulafaur Rosyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yg selamat (al-Firqoh al-Najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali."

Pada hakikatnya ajaran Nabi saw. dan para sahabatnya tentang aqidah itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapimasih berserakan dan belum tersusun secara sistematis. Baru pada masa setelahnya, ada usaha dari ulama' Ushuluddin yg besar yaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari yg lahir di Bashra tahun 260 H dan wafat tahun 324 H, juga Imam Abu Mansur al-Maturidi yg lahir di Maturid, Samarkand, Uzbekistan, dan wafat tahun 333 H, Ilmu Tauhid dirumuskan secara sistematis agar mudah dipahami. Kedua ulama' tersebut menulis kitab2 yg cukup banyak. Imam al-Asy'ari misalnya, menulis kitab al-ibanah 'an Ushul al-Diniyah, Maqolat al-Islamiyyin, dll. Sedangkan Imam al-Maturidi menulis kitab al-Tauhid, Ta'wilat Ahl al-Sunnah, dll. Karena jasa yg besar dari kedua ulama' tersebut, sehingga penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah selalu dikaitkan dengan kedua ulama' tersebut.

Sayyid Murtadha al-Zabidi mengatakan:
"Jika disebut Ahlussunnah wal jama'ah, maka yg dimaksud adl para pengikut Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2 hal. 6)

Pesantren2 di Indonesia secara umum mengajarkan Ilmu Tauhid menurut rumusan Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan menggunakan kitab yg lebih sederhana dan ditulis oleh para pengikut kedua imam tersebut, seperti kitab Kifayatul 'Awam, Ummul Barohain, 'Aqidatul 'Awam, dll.

Dari penjelasan di atas, dpt dipahami Ahlussunnah wal jama'ah bukanlah aliran baru yg muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yg menyimpang dari ajaran Islam yg sebenarnya. Tetapi Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yg diajarkan Nabi saw. dan sesuai dg apa yg telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya.

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin