Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Minggu, 15 Agustus 2010

TEKNIK MELAKUKAN ROBITHOH

Di dalam shalat, ketika melakukan tasyahud, kita diperintahkan mengucapkan salam kepada Nabi SAW, Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam dan rahmat serta barakah Allah untukmu wahai Nabi SAW). Perintah ini harus dilakukan secara lahir dan batin, secara lahir dengan mengucapkan salam itu sendiri, sedangkan secara batin adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani Rasul SAW, agar kita bisa bersama dengan Beliau SAW.

Bersama dengan Rasul SAW sekaligus mengandung makna bersama dengan Allah SWT karena Rasul SAW tidak pernah berpisah sedetik-pun dari-Nya. Kenyataan bahwa di dalam rohani Beliau SAW tersimpan Nur Allah SWT, dan bahwa Beliau SAW sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah ra. selalu berdzikir kepada Allah SWT dalam setiap detik yang Beliau SAW miliki (kana yadzkurullaha fi kulli ahyanihi) [Musnad Abi Ya’la, juz VIII: 355] merupakan indikasi nyata atas makna ini.

Dalam kaitan inilah mengapa sebagian Kaum Arifin yaitu orang-orang yang sudah mengenal Allah SWT secara tahkik berkata:

"Bersamalah engkau selalu dengan Allah, dan jika engkau belum bisa, maka bersamalah engkau selalu dengan orang yang sudah bersama dengan Allah" [Tanwir al-Qulub, hal. 512].

Namun begitu, karena kita tidak mengenal Rasul SAW secara jasmani, maka yang dapat kita lakukan adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani ulama yang kita kenal secara jasmani, yaitu ulama yang benar-benar berkapasitas sebagai Waratsah al-Anbiya (Ahli Waris Para Nabi), yang kepada mereka beliau mewariskan isi rohani beliau dengan izin Allah SWT.

Hamba-hamba Allah SWT seperti itu dalam al-Quran disebut antara lain dengan al-Shadiqun, dan Allah memerintahkan kita agar selalu bersama dengan mereka (secara jasmani dan rohani).

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu selalu bersama orang-orang yang benar. (Q.S. al-Taubah : 119).

Firman Allah di atas dijelaskan oleh Imam al-Baidhawi dalam Tafsir-nya dengan ungkapan:

"(Hendaklah kamu bersama dengan mereka) dalam keimanan dan janji-janji mereka, atau dalam agama Allah dari segi niat, perkataan, dan perbuatan." [Tafsir al-Baydhawi, juz III: 178].

Penjelasan senada dikemukakan oleh Imam al-Alusi dalam Ruh al-Maani-nya [Ruh al-Ma’ani,juz XI: 45], dan juga oleh Imam Abu Saud dalam Tafsir-nya Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Quran al-Karim dengan redaksi yang lebih gamblang:

"(Hendaklah kamu bersama dengan mereka) dalam keimanan dan janji-janji mereka, atau dalam agama Allah dari segi niat, perkataan, dan perbuatan, atau dalam semua urusan." [Tafsir Abi al-Sa’ud, juz IV: 110].

Artinya, bersama atau berjamaah dengan orang-orang yang benar itu dilakukan dalam semua keadaan dan dalam semua persoalan, baik secara jasmani maupun secara rohani.

Bahkan, bersama atau berjamaah secara rohani jauh lebih mungkin direalisasikan daripada berjamaah secara jasmani, sebab tidak mungkin kita dapat berjamaah dengan mereka secara jasmani dalam semua keadaan. Maka al-Shadiqun yaitu orang-orang yang benar, dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang benar dalam keimanan mereka kepada Allah, sehingga sebutan lain yang dikemukakan al-Quran untuk mereka adalah al-Muminuna Haqqan, orang-orang mukmin sejati (hak), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah SWT, hati mereka bergetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah SWT kepada mereka keimanan mereka semakin bertambah, dan hanya kepada Allah SWT mereka bertawakal, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian harta yang dikaruniakan kepada mereka [Al-Anfal, 8: 3-5]; bukan orang-orang yang beriman tetapi di dalam hatinya tumbuh subur sifat-sifat nifaq (munafik) yang diantara ciri-ciri utama mereka adalah bahwa mereka tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit [Al-Nisa' : 142].

Mereka tiada lain adalah wali-wali Allah yang oleh Nabi sebagaimana disinggung sebelumnya disebut dengan Mafatih al-Dzikr ‘kunci-kunci dzikir’, dan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kaum sufi, dan oleh Ibn Taimiyah disebut sebagai golongan yang paling baik setelah Nabi. [Majmu’ al-Fatawa, juz XI: 17]. Memandang mereka melahirkan dzikir kata Nabi dalam riwayat Imam al-Thabrani ketika menggambarkan keberadaan mereka [Al-Mu’jam al-Kabir, juz X: 205]. Memandang mereka, terutama yang dilakukan secara rohani, mewujudkan apa yang dimaksud dengan rabithah di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar