Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Sabtu, 26 Maret 2011

WAHAI PENCARI TUHAN JANGAN KAU RISAUKAN SEDIKITNYA AMALMU...

Oleh: Ustadz Ishak

Pengantar :
Tulisan ini sebenarnya jawabanku, atas pertanyaan seorang rekan di multiply. Mengenai ma’rifat dan ketidakmampuan ma'rifat menghantarkan seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah) kepada Allah. Materi ini terlalu panjang kalau ditulis di comment, dan kurang berelasi dengan malah inti tulisanku, di mana rekanku bertanya. Karena itu sengaja aku membuat tulisan ini secara khusus.

Walaupun demikian, tak ada salahnya dibaca. Walaupun pembaca bukan pelaku, dan tidak merasakan pahit getir dan sulitnya orang yang menempuh perjalanan menuju Allah (pesuluk / salik), namun paling tidak dapat tulisan ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan.

Peringatan :
Pada bagian judul sudah jelas bahwa secara spesifik saya menujukan tulisan ini bagi orang-orang yang sedang melakukan pencarian kepada Allah (salik) yang penuh harapnya kepada Allah. Tulisan ini, bukan  bagi golongan lain atau golongan yang masih “awam” kepada Allah. Mengapa demikian ?

Ketika orang awam membaca kalimat, “Jangan Kau Risaukan Sedikitnya Amalmu...”. Maka mereka justru akan diam dan semakin sedikitlah amal kebaikan dan ketaatan mereka. Adapun para salik biasanya mereka akan terus beramal taat, merindukan dan berharap untuk dapat sampai kepada Allah apapun yang terjadi.

Bagi para salik, tingkatan kesempurnaan ketaatan ibadah mereka kepada Allah hanya dibatasi oleh keterbatasan kemampuan fisik manusiawi mereka. Dalam hal ini, Kalaupun mereka menginginkan dengan sangat untuk bersembah dan bersujud kepada Allah tak terhitung jam dan malam, mereka dipaksa untuk berhadapan dengan rasa capek dan kebutuhan untuk tidur. Itulah yang saya maksud dengan kemampuan fisik mereka membatasi kesempurnaan ketaatan ibadah mereka.

Kerinduan para salik kepada Allah biasanya begitu membuncah menggebu-gebu dan menggelisahkan, tak tertahankan. Tetapi kekurangan-kekurangan dan ketidaksempurnaan manusiawi mereka dalam melakukan ketaatan dan beribadah, atau keterbatasan mereka dalam memakrifati Allah,  biasanya mereka “anggap” sebagai batu penghalang. Padahal tidaklah demikian halnya.

Mengapa demikian halnya ? Paling tidak inilah 4 alasan yang dapat dikemukakan.

Ya Allah, lindungi pikiranku dan jariku yang kupakai untuk mengetik dan dari setan. Dengan namamu ya Allah (semoga aku tak termasuk yang membocorkan ilmu rahasia-Mu.....)


1. Amal Mereka Membuat Allah Ridha

Bagi para salik, mereka lakukan amal ibadah agar Allah melihat ketaatan mereka, kemudian meridai mereka. Keridaan itu akan menghasilkan anugerah dan kasih sayang Allah berupa ampunan terhadap kekurangan-kekurangan sang salik dalam melakukan ketaatan dan ibadah mereka. Selain itu keridaan Allah kepada mereka akan membuat Allah melipat gandakan anugerah-Nya bagi sang salik.

Sungguh amal-amalan tak akan mampu menghantarkan seseorang kepada Allah. Yang dapat menghantarkan adalah kasih sayang dan keridaan Allah kepadanya, berdasarkan amal ketaatan yang dilakukannya.

Masih teringat jelas dalam ingatan bahwa ada seorang yang beribadah secara intensif dan terus menerus kepada Allah selama 300 tahun. Selama itu pula ia berpuasa. Ketika ia meninggal, Allah berkata malaikat, “Malaikat, masukan dia ke surga karena Rahmat-Ku.” Orang itu protes, “Karena amalku ya Allah.” Allah kemudian mengulangi perkataannya, “Malaikat, masukan dia ke surga karena Rahmat-Ku.” Orang itu protes lagi, “Karena amalku ya Allah.” Kemudian Allah berkata, “Baiklah jika kau memaksa, wahai malaikat, timbanglah seluruh amalnya.” Setelah ditimbang oleh malaikat, ternyata ibadah intensif dan puasanya selama 300 tahun ternyata hanya mampu membayar kenikmatan dia diberi sebelah mata oleh Allah. Berkatalah Allah, “Malaikat, masukkan dia ke neraka, karena dia mengingkari rahmat-Ku”. Barulah orang itu sadar, bahwa kasih sayang Allah-lah yang menghantarkannya ke surga, bukan amalnya. Kemudian ia berkata, “Wahai Allah, ampuni Aku. Sungguh kasih sayangmu kepadaku lebih besar dari ibadah ketaatan yang kulakukan untuk-Mu.” Orang itu baru menyadari bahwa makrifatnya adalah pemberian Allah. Tenaga yang dipakainya untuk beribadah berasal dari Allah. Keinginan untuk bertaat juga berasal dari Allah, dan Allah juga telah menghilangkan seluruh perintang-perintang ketaatannya dan melindunginya dari setan. Lantas dapatkah seorang hamba meng-klaim ibadahnya sebagai hasil usahanya, jika seluruh bahan pembentuk ibadah itu seluruhnya berasal dari Allah juga ? Sungguh seluruh buah yang dihasilkan adalah milik Sang Penanam, walaupun secara dzahir, pohonlah yang melahirkannya.

Bukankah engkau sudah tahu bahwa ma’rifat itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepadamu. Lalu apakah amalan-amalan yang kau lakukan itu adalah hadiah yang engkau berikan kepada-Nya darimu ? Di manakah letak kesetaran antara hadiah yang engkau berikan kepada-Nya dengan anugerah yang diberikannya kepadamu ?

Atau...

Bagaimanakah mungkin engkau meminta upah berupa surga atas ibadah yang kau lakukan kepada Allah, sedangkan Allah sama sekali tidak membutuhkan ibadahmu. Banyaknya ibadahmu tak memberikan manfaat sama sekali kepada Allah. Seluruh ibadahmu adalah untuk kepentinganmu, bukan untuk kepentingan Allah. Kalaupun kau tak beribadah, Allah tak kan pernah bergeming dari arsy-Nya.

Demikian pula, bagaimanakah engkau akan meminta upah “terhindar dari neraka” atas pencegahan terhadap dosa yang kau lakukan, sedangkan kekafiranmu tidak menyebabkan kemadhorotan / kerugian terhadap Allah ?

Bila engkau sangat memerlukan kemegahan dan keindahan yang ada dalam batu intan permata sedangkan uang di kantongmu hanya Rp. 500. Sungguh engkau tidak akan dapat membeli permata itu seharga 500, kecuali atas kemurahan, kasih sayang dan persahabatanmu dengan pemilik permata.

Andaikan ketaatanmu tak sempurna. Banyak cela di sana dan disini. Sehingga dengannya engkau malu untuk meminta surga, atau, sehingga dengannya engkau malu untuk meminta kepada Allah agar terhindar dari neraka, maka bertawakallah kepada kemahapenyayangan, kemahapegasihan, kemahapemaafan Allah kepada umatnya dan berharaplah kebaikan-kebaikan yang dihasilkan dari persahabatanmu dengan-Nya dan banyaknya pertemuan wajah (muwajahah) dengan-Nya.

Syaikh Ibn Athoillah mengatakan, siapa yang menyangka bahwa ia dapat sampai kepada Allah dengan perantaraan sesuatu selain Allah (dalam hal ini ibadahnya), pasti akan putus karenanya. Dan siapa saja yang menyandarkan ibadahnya kepada (kekuatan) dirinya sendiri, maka ia tidak akan dapat mencapai bagian-bagian yang hanya diperuntukkan Allah bagi hamba-Nya yang menyandarkan ibadahnya kepada ketakwaan (akan pemberian kasih sayang dan anugerah  Allah).


2. Allah Menyayangi Mereka Dengan Bala’ (bencana / petaka / cobaan)

Beraneka warna amal perbuatan, karena bermacam-macam pula kurnia Allah yang diberikan kepada hambanya. Jika amal-amal ketaatan si hamba belum cukup untuk menghantarkannya kepada keridaan Allah, maka Allah akan menurunkan bala’ (petaka) untuknya.

Diriwayatkan bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada seorang nabi, “Aku telah menurunkan bala’ (ujian) kepada seorang hamba, maka sang hamba berdoa,  dan tetap Aku tunda permintaannya. Akhirnya sang hamba mengeluh. Maka Aku berkata kepadanya : Hambaku, bagaimana aku akan melepaskan dari mu bala’ku, sedangkan di dalam bala’ku terkandung rahmat-Ku yang dapat melejitkan engkau kepada-Ku, di mana kekuatan bala’ itu untuk memberikan lejitan, tidak akan bisa dicapai dengan ketaatan dan ibadahmu.


3. Bagi hamba yang mengetahui bahwa Tuhannya maha pengampun, kemudian mereka memohon ampun, maka Allah Mengampuni Mereka

Sebenarnya sempurnalah kasih sayang Allah kepada umatnya. Ketika DIA mengetahui kekurangan-kekurangan dan keterbatasan si hamba dalam melakukan ketaatan, maka DIA menyediakan jalan-jalan lain bagi si hamba untuk bertemu dengan-Nya. Salah satunya adalah dengan mengampuni semua kekurangan-kekurangan (ketidaksempurnaan) dalam ibadah taat sang hamba.


4. Allah menarik mereka yang dicintai-Nya, untuk menuju kepada-Nya.

Orang-orang shalih yang menuju kepada Allah telah mendapatkan hidayah dengan cahaya yang merupakan amalan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Sedangkan orang-orang yang telah sampai, mereka ditarik oleh oleh nur (cahaya) yang langsung dari Allah, bukan hasil dari ibadah, tapi semata-mata karunia rahmat Allah.  (Syaikh Ibn Athoillah)

Dengan demikian, orang-orang shalih menuju ke alam nur, sedangkan yang telah sampai di alam nur, mereka berkecimpung di dalam nur. Sebab orang yang telah sampai itu telah bersih dari segala sesuatu selain Allah.

Jika kelemahan fisikmu, kerapuhan tulangmu dan kelembutan kulitmu tak mampu menghantarmu untuk berziarah sampai kepada Allah, maka bermohonlah agar DIA sudi menjemputmu dan menarikmu ke haribaan-Nya.

Kesimpulan :

Memakrifati zat yang tak terbatas dan tak terdefinisikan akan menyebabkan ilmu makrifat kepada Allah juga tak bertepi. Jangan hiraukan engkau ada di mana. Teruslah maju. Ini bukanlah terminal akhirmu......

Bila Allah telah membukakan jalan ma’rifat kepadamu, janganlah engkau hiraukan lagi sedikitnya amalanmu. Sebab Dia tidak akan menyingkapkannya kepadamu, kecuali Dia hanya berkehendak untuk memperlihatkan anugerahnya kepadamu. (Syaikh Ibn Athoillah)

Di antara tanda-tanda keberhasilan dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah adalah kembali bertawakal kepada Allah pada awal mula perjalanannya (bidayah). Dan barang siapa tercerahkan pada permulaannya, maka akan tercerahkan pula akhirnya (nihayah).

Keberhasilan seseorang di awal perjalanannya kepada Allah akan hadir, manakala ia bertawakal kepada Allah, bukan pada amalan yang dilakukan oleh dirinya.

Apa-apa yang tersembunyi dalam rahasia ghaib yang berupa nur Ilahi dan makrifat, pasti akan tampak bekas pengaruhnya pada anggota lahir. Barang siapa adab kesopanan lahirnya baik, maka itu menjadi bukti adanya adab di dalam batin.

Ya Allah saksikanlah bahwa aku tak menyembunyikan atau menjual ilmu yang berasal dari-Mu. Ya Allah, telah kusampaikan. Ya Allah, Engkau menjadi saksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar