Allah

Allah
Mari selalu dzikir kepada Allah setiap waktu

Kamis, 07 Oktober 2010

HANYA ULIL ALBAB YANG BISA MENEMUKAN MUTIARA

Tahukah engkau siapa yang dimaksud dengan Ulil Albab (orang yang berpikir) ? Bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk berpikir, anak kecil juga tahu. Tapi mengapa posisi ulil albab ini memegang peranan penting ?

Ketika manusia melihat sebuah kerang, maka dalam otaknya akan bertanya, “Apa itu kerang”. Manusia dapat mengenal melalui panca indra. Mereka melihat, mendengar, merasa dan mencium segala sesuatu. Pengalaman panca indra ini akan melalui proses pemikiran, dan berubah menjadi pengetahuan tentang apa itu kerang ?

Indra akan menjawab bahwa kerang adalah suatu makhluk air yang berbentuk lonjong dan bercangkang keras. Lalu kenapa cangkang itu keras ? Mengapa bukan kulit yang lebih lembut seperti kulit binatang ?

Pertanyaan itu tidak terjawab oleh panca indra, karena peristiwa itu tidak langsung dapat ditangkapnya. Ternyata panca indra memiliki keterbatasan gerak, sehingga ia harus meminta tolong kepada alat gerak seperti tangan dan kaki untuk melakukan penyelidikan yang lebih jauh, untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung di balik peristiwa-peristiwa itu. Maka dilakukan riset dan eksperimen. Tangan kemudian membuka cangkang kerang itu, kemudian ditemukan daging yang lunak dan mutiara.

Data yang dihasilkan oleh penyelidikan itu menjadi dasar pemikiran, yang bekerja secara sistematis dan mendasar. Dari data dan pemikiran itu terbentuklah pengetahuan ilmu. Gabungan indra dan alat gerak menghasilkan jawaban berupa ilmu, bahwa kerang memiliki cangkang yang keras untuk melindungi daging yang lunak, dan untuk melindungi mutiara. Tetapi tunggu, kenapa kerang hidup di air ? Apa itu air ? Kenapa H2O bisa bersenyawa, sedangkan manusia sangat kesulitan untuk memisahkan Hidrogen (H2) Dari oksigen (O). Ya, itulah hukum alam.

Ah, rupanya pertanyaan itu tak terjawab oleh ilmu. Kembali ilmu memiliki keterbatasan. Lalu ketika ilmu sampai pada batas akhir kemampuannya, maka pertanyaan itu diberikan kepada filsafat. 

Hukum alam adalah hukum materi atau dzat. Apa itu Dzat ? Dzat adalah hakikat dari segala yang ada. Ia adalah awal dari segala-galanya dan akhir tempat kembali segala-galanya. Ia adalah akhir dari segala yang ada, juga akhir dari segala pertanyaan. Apa yang mau ditanyakan lagi ? Dzat adalah hakikat, adalah awal, adalah akhir. Pertanyaan sampai pada ujungnya. Tak ada yang dipertanyakan lagi.

Hukum Alam adalah ketentuan maha ruh. Semua berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Pada segala sesuatu Dialah hakikatnya, Dia-lah pangkalnya. Dia-lah ujungnya. Yang nyata ini hanyalah manifestasi dari keberadaan-Nya. Inilah yang disebut sistem pengetahuan atau filsafat serba-ruh.

Nah akhi wa ukhti, ulil albab-lah yang memiliki pemikiran yang tidak berhenti. Manakala indra sudah mencapai batasnya, manakala eksperimen sudah mencapai batasnya, dan manakala apa yan dipikirkan sudah keluar dari alam, para ulil albab akan berkata, “Bukankah masih bisa dipikirkan ?”

Akhi wa ukhti ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan ulil albab adalah orang yang ketika melihat sebuah kerang, maka ia tidak berhenti sampai di cangkang kerang. Ia akan terus membuka kerang itu, sehingga ia menemukan daging lunak dan mutiara di dalamnya. Ia mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari pada kulit luar yang ia lihat.

Demikianlah manusia selalu mencari cara untuk mencari kebenaran yang sifatnya hakiki. Sebenarnya sifat ingin tahu ini adalah suatu kebaikan, selama keinginantahuan tersebut tidak melintasi pagar agama yang telah ditetapkan.

Beranjak dari hal ini, maka ada sebagian orang yang ingin terus menggali untuk mendekati kebenaran. Timbullah inovasi-inovasi baru (orang menyebutnya sebagai Bid’ah). Kita lihat salah satu contoh inovasi-inovasi itu. Membukukan Al Qur’an dan Hadist tidak pernah diperintahkan Rasul. Peristiwa itu terjadi jauh hari setelah Rasul wafat. 

Atau contoh lain adalah pemisahan ayat-ayat Al Quran menjadi ayat-ayat makkiyah dan madaniah. Sesungguhnya pengertian atau pemahaman tentang hal tersebut kembali kepada hafalan para sahabat dan tabi’in (orang yang hidup satu masa dengan sahabat atau mengetahui para pembesar sahabat), dan sama sekali bukan merupakan sabda nabi saw., karena beliau pun semasa hidupnya tidak pernah memerintahkan untuk mencatat atau membukukan perbedaan makkiyah dan madaniah, apalagi Allah swt tidak menganggap dan menjadikan ilmu tersebut sebagai suatu fardhu atau kewajiban bagi setiap hamba-Nya untuk mengetahuinya. Meskipun ilmu ini juga menjadi kewajiban bagi sebagian ulama untuk mengetahui dan mengetahui secara detail tentang tarikh atau sejarah nasikh dan masukh. Dan kadang-kadang ilmu ini bisa dimengerti dan dipahami meski tanpa adanya nash dan sabda Rasulullah saw.

Apa-apa yang dianggap sebagai inovasi dalam hal pembagian ayat makkah dan madaniah ini berlangsung lebih jauh lagi. Ulama terbagi pendapatnya menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah, sedangkan madaniah adalah wahyu yang turun setelah hijrah. Meskipun turunnya itu di Makkah maupun di Madinah. Apakah itu pada saat penaklukan kota Makkah atau pada tahun-tahun terakhir Rasulullah saw di saat haji wada, atau ketika beliau sedang dalam salah satu perjalanan dari sekian banyak perjalanan beliau, ataukah sedang tidak dalam perjalanan.

2. Makkiyah adalah wahyu yang turun di makkah meskipun turunnya itu setelah hijrah, dan yang disebut madaniah adalah yang turun di madinah. Sedangkan wahyu yang turun ketika Rasulullah dalam perjalanan, maka ia tidak masuk ke dalam makkiyah maupun madaniah.
Makkiyah adalah wahyu yang khusus untuk penduduk mekkah dan sekitarnya, sedangkan madaniah adalah wahyu yang dikhususkan untuk penduduk madinah.

3. Ayat-ayat makiyah terkait erat dengan iman dan tauhid, sedangkan ayat-ayat madaniah terkait erat dengan aspek-aspek sosial. Walaupun demikian boleh jadi suatu ayat yang turun di Mekkah setelah periodisasi Madinah, akan masuk (dihukumi) ke dalam ayat Madaniyah, atau sebaliknya. Atau tentang ayat yang turun di Mekkah mengenai penduduk Madinah. Atau ayat yang turun di Madinah tetapi kandungannya menyerupai kandungan surat-surat Makkiyah. Atau surat-surat yang diturunkan secara terpisah atau sendiri, tidak disertai dengan ayat-ayat lain. Atau ayat-ayat madinah yang ada dalam surat makiyah. Atau ayat yang turun di Makkah, kemudian dibawa dan disebarkan di Madinah,Dan atau-atau lain, yang jika dihitung dan diklasifikasikan akan mencapai 25 bentuk dan rupa. Karena itu, jika diketahui jika metode terbaik menafsirkan Al Quran adalah dengan Al Quran lagi, maka suatu ayat makkiyah tidak dapat ditafsirkan dengan ayat Madaniyah.

Karena itu, ketika seorang mufasir (ahli tafsir) menjalankan metode tahlili, maka boleh jadi ia menemukan bahwa di dalam Al Quran terdapat dua ayat yang memiliki konteks yang sama, tetapi kedua ayat tersebut berbeda klasifikasi. Yang satu ayat makiyah dan yang lainnya madaniah. Walaupun keduanya memiliki konteks isi yang sama, namun pasti ada yang berbeda, walaupun satu kata. Hilangnya satu kata di salah-satu dari kedua-ayat tersebut akan menyebabkan perbedaan arti. 

Inilah pentingnya seorang mufasir (ahli tafsir) memiliki ilmu tentang pemisahan antara ayat makiyah dan madaniyah, karena perbedaan keduanya dan dapat menyebabkan salah penafsiran jika tidak disertai dengan ilmu, walaupun kedua ayat tersebut memiliki konsep yang sama.

Ketidakmengertian seseorang terhadap klasifikasi ayat ini dapat menyebabkan terjadinya mujadalah (jadal = debat). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun seseorang adalah penghafal Al Quran, tetapi tanpa kemampuan membedakan antara ayat makiyah dan madaniyah, maka penafsirannya bisa jadi tidak sesuai dengan keadaan, sehingga salah dalam menghukumi sesuatu. Karena itu As Suyuti mengatakan : Barang siapa yang tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak mengenalnya, apalagi tidak bisa membedakan satu persatu dari masing-masing bentuk ilmu tersebut di atas, tidak dihalalkan baginya berkomentar tentang kitab Allah swt.

Cukuplah contoh itu, tak perlu diperpanjang lagi.

Nah, masihkan inovasi (bid’ah) tersebut menjadi momok ? Sampai-sampai bid’ah menjadi sesuatu yang ditakuti ? 

Bagi ana, ana akan ambil setiap bid’ah yang menghasilkan kebaikan. Jika pergi ke ruang angkasa adalah bid’ah karena tidak ada di zaman rasul, namun menghasilkan kebaikan, maka itu akan ana lakukan. 

Bagi ana, ana akan mengambil setiap perkataan yang baik, dari siapapun. Baik perkataan orang biasa, maupun perkataan nabi (hadist). Ana akan mengambil perkataan baik orang biasa itu walaupun tidak memiliki klasifikasi shoheh atau maudhu selama hal itu menghasilkan kebaikan dan tidak-terkait dengan instinbat (pengambilan hukum).

Kasihan sekali umat islam sekarang. Pola pikir tanpa ilmu seperti itu, hanyalah akan membuat umat semakin bodoh. Lihatlah kehidupan di zaman Rasul. Tampaknya istinbat (pengambilan hukum) tidaklah seruwet zaman sekarang. Semuanya berjalan lancar dan tenang. Semua inovasi tersebut hanyalah usaha manusia untuk mendekati kebenaran hakiki.

Benarlah. Hanya ulil albab yang akan menemukan mutiara berharga yang tersembunyi di dasar laut, dan memunculkannya ke permukaan. Dan benarlah, hanya orang yang berpikir, yang tidak membatasi diri dengan "HANYA MEMBACANYA", namun mampu MENEMUKAN MUTIARA di balik Al Quran dan Al Hadist, dan tidak sebatas menakut-nakuti orang dengan istilah bid’ah dan maudhu.

Wahai Kekasihku,
Tak ada yang sepenuhnya mampu
mengerti dawai firman-Mu
Sebab sebelum sampai pada hakikat mengerti
Mereka telah hancur
Oleh pembatasannya sendiri.....

2 komentar:

  1. terimakasih, sungguh pemahaman yang sangat berarti.
    belajar dan terus belajar ! semoga aku terhindar dari seperti katak dalam tempurung.

    BalasHapus
  2. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (Ulil Albab). Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS. 12:111).

    BalasHapus